Jumat, 13 Februari 2009

Killing Well

Seputar Killing Well

Work Over and Well Service merupakan salah satu kegiatan dalam teknik operasi pada suatu sumur minyak. Pekerjaan ini bertujuan untuk perawatan sumur, kerja ulang pindah lapisan (KUPL), stimulasi dan reparasi sumur. Dengan melakukan perawatan dan reparasi sumur maka diharapkan dapat mengembalikan produksi sumur ke potensi sebelumnya. Sedangkan untuk meningkatkan produksi suatu sumur dapat dilakukan dengan cara stimulasi sumur dan melakukan kerja ulang pindah lapisan dengan cara pelubangan (Perforasi) lapisan baru. Didalam melakukan pekerjaan ini, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan agar kegiatan dapat berjalan baik. Salah satu faktor terpenting adalah pengetahuan mengenai tekanan formasi sumur. Pekerjaan Work Over baru bisa dilakukan apabila tekanan formasi sumur telah dapat dikendalikan. Kegiatan awal untuk mengamankan keadaan sumur disebut dengan Killing Well (mematikan sumur) yang dapat dilakukan dengan beberapa cara.

1. Tekanan formasi

Tekanan formasi adalah tekanan yang berasal dari fluida pengisi pori-pori dari batuan formasi. Pada proses kompaksi sedimen, tekanan pada lapisan di bawah akan terus bertambah seiring dengan penambahan lapisan dan tekanan di atasnya. Tambahan tekanan ini akan ditahan oleh matriks dan fluida pengisi pori-pori. Oleh karena itu, tekanan fluida pengisi pori dapat terus bertambah.

Selengkapnya download di sini


Read More..

Rabu, 11 Februari 2009

Sucker Rod Pump (SRP)

A.Sucker Rod Pump
Sucker rod pump merupakan salah satu metoda artificial lift dengan memanfaatkan sumber tenaga yang berupa listrik atau gas dari prime mover untuk menggerakkan pompa sehingga fluida pada formasi dapat naik ke permukaan
Keuntungan penggunaan sucker rod pump adalah :
1.Efisien dan mudah dalam pengoperasian di lapangan
2.Masih bisa digunakan untuk mengangkat fluida pada sumur yang mengandung pasir
3.Dapat dipakai pada sumur bengkok (directional).
4.Dapat digunakan untuk sumur yang memiliki tekanan rendah
5.Fleksibel karena kecepatan pompa dan stroke length dapat disesuaikan
6.Dapat digunakan pada berbagai ukuran tubing
7.Dapat menggunakan gas atau listrik sebagai sumber tenaga penggerak

B.Komponen Sucker Rod Pump
Peralatan pada sucker rod pump (Gambar 2) dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu :


GAMBAR 1
KOMPONEN SUCKER ROD PUMP

1. Prime Mover
Fungsi dari prime mover adalah mengalirkan sumber tenaga yang dapat menggerakkan pompa sehinga fluida dapat naik ke permukaan. Jenis prime mover ada dua macam, yaitu elektrik dan engine. Pemilihan jenis prime mover yang akan digunakan disesuaikan dengan keberadaan listrik dan sumber gas yang ada.
2. Surface Equipment
Fungsi dari surface equipment adalah memindahkan sumber energi dari prime mover ke unit peralatan pompa di dalam sumur sehingga gerak putar prime mover diubah menjadi gerak naik turun sucker rod dan diperoleh kecepatan pompa yang diinginkan.
Adapun bagian-bagian dari surface equipment :
a. Gear reducer,merupakan rangkaian roda gigi yang berfungsi untuk mengurangi kecepatan prime mover. Hal ini penting karena kecepatan putar motor pada prime mover akan mempengaruhi kecepatan pompa.
b. V-Belt, merupakan sabuk untuk memindahkan gerak dari prime mover ke gear reducer.
c. Crank, fungsinya menghubungkan crank shaft pada gear reducer dengan counter weight untuk mengatur stroke length dengan mengubah posisi dari pitman bearing





Selengkapnya download di sini
Read More..

Selasa, 10 Februari 2009

MUBA Menanti Bagi Hasil MIGAS

oleh : Muhamad Nasir (Desember 2006)

Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Provinsi Sumatra Selatan menyimpan kekayaan alam yang melimpah, terutama minyak dan gas, sehingga menjadi sumber pendapatan daerah yang kini terus dikembangkan.
Kekayaan yang dimiliki Muba meliputi daerah daratan maupun perairan. Bahkan kekayaan ini menyimpan potensi besar untuk dikembangkan pada masa sekarang maupun mendatang. Selain itu, Muba memiliki potensi perkebunan, perikanan, pertanian, dan sumber daya energi.
Khusus, untuk pengembangan sumber daya energi, Muba telah terdengar sejak zaman penjajahan sebagai pemasok minyak dan gas terbesar di Sumsel.
Secara geografis Muba memiliki luas wilayah 14.265,96 km2 dan terdiri dari sembilan kecamatan, sembilan kelurahan dan 196 desa dengan jumlah menduduk sekitar 444.973 jiwa. Di sebelah utara Muba bertetangga dengan Provinsi Jambi, di selatan dengan Kabupaten Muara Enim, di barat berdampingan dengan Kabupaten Musi Rawas dan di sebelah timur bertetangga dengan Kabupaten Banyuasin.

Tentu tidak berlebihan jika melihat banyaknya perusahaan migas besar yang beroperasi di Muba, a.l. Pertamina, Medco Energy, Elnusa, dan Conoco Phillips. Mereka memberikan kontribusi yang besar dalam pengembangan sumber daya energi di Muba. Minyak dan gas dari Muba yang diproduksi perusahaan-perusahaan tersebut dimanfaatkan daerah lain, bahkan negara lain, sebagai pembangkit ketenagalistrikan.
Cadangan sumber daya energi di Muba mencapai 383.733 MSTB untuk minyak bumi dan 16.341,504 BSCF untuk gas alam. Selain itu, daerah ini juga memiliki potensi sumur tua yang saat ini masih dikelola secara tradisional oleh masyarakat. Terdapat sedikitnya 392 sumur tua yang tersebar di beberapa kecamatan.
Masih besarnya cadangan yang dimiliki sumur tua, menjadikan Pemkab Muba melalui Perusahaan Daerah PT Petro Muba membangun kilang mini yang bakal mengelola hasil tambang tradisional penduduk sekitar. Pembangunan kilang mini ini, seperti kata Bupati Muba Alex Noerdin, menjadi jalan keluar untuk melegalkan penambangan penduduk serta meningkatkan nilai jual hasilnya.

Mulai disentuh

Selain itu, potensi minyak bumi dan gas, terdapat satu potensi sumber daya energi yang belum tersentuh adalah batu bara. Cadangan sebesar 3,5 miliar ton masih dalam tahap pengembangan awal. Potensi ini tersebar di lima kecamatan yaitu Bayung Lencir, Babat Toman, Sungai Lilin, Keluang dan Batang Hari Leko.
Seiring mahalnya harga bahan bakar minyak ditambah dengan kebijakan pemerintah pusat mencari sumber energi alternatif, tentunya memberikan peluang yang sangat besar untuk pengembangan batu bara Muba. Harus diakui kadar air tinggi dan kalori rendah, menjadikan batu bara Muba dulu kurang diminati. Namun kemajuan teknologi pengolahan batu bara membuat batu bara dapat diolah menjadi gas atau bahan bakar minyak. Dengan berbagai teknologi ini, batu bara Muba tetap dibutuhkan untuk industri maupun pembangkit tenaga listrik.

Berbagai investor batu bara dalam dan luar negeri telah berulang kali mengunjungi Muba untuk mencari batu bara. Hasilnya tidak tanggung-tanggung. Beberapa perusahaan telah menandatangani kesepakatan berinvestasi di Muba. Perusahaan asal Australia PT Thiess Indonesia (TI) meninjau langsung lokasi rencana pembangunan PLTU Mulut Tambang berkapasitas 2 x 100 MW di Sungai Lillin.
Untuk pembangkit PLTU Mulut Tambang di Sungai Lilin, tersedia cadangan sebesar 42 juta ton. Selain itu perusahaan JSPC Uzbekcoal, pemegang hak dan pemasaran dan pengembangan Teknologi Underground Coal Gasification (UCG) telah melakukan kesepakatan untuk mengembangkan teknologi pengolahan batu bara ramah lingkungan di Muba.
Alex Noerdin menjelaskan saat ini telah dilakukan penambangan perdana batu bara di Kecamatan Bayung Lencir setelah sebelumnya meresmikan penambangan percobaan di Kecamatan Keluang. Penambangan produksi perdana batubara dilakukan PT Agregate Mandiri Lestari (AML) yang mencakup 100 ha areal produksi. Produksi batu bara di Muba ini menjadi yang kedua di Sumsel setelah PTBA. Sementara PT Baturona Mulya diberikan lahan seluas 100 ha sebagai areal percobaan.

Pengembangan bidang sumber daya mineral dan energi ini telah menjadi tujuan Pembangunan Pemkab Muba, bukan hanya tahun ini. Demikian pula dengan pengembangan batu bara. Ketergantungan terhadap minyak dan gas tentu tidak relevan lagi di masa datang, karena itu pengembangan batu bara sebagai sumber energi alternatif perlu digalakkan.
Jika produksi batu bara di Muba ditingkatkan, diperkirakan semakin besar pula royalty yang bakal masuk ke APBD Muba. "Harapan kami, manfaat ini dapat diinvestasikan untuk membangun SDM dan infrastruktur," kata Alex Noerdin beberapa waktu lalu.
Sejak penjajahan
Muba memang terkenal dengan potensi sumber daya alamnya yang berlimpah. Sebagai daerah penghasil migas produksi bahan tambang ini sudah dikenal sejak zaman Belanda. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan sumur-sumur tua peninggalan Belanda yang penambangan minyaknya ini diusahakan oleh pihak swasta bersama pemerintah.
Presdir Petro Muba Robert Heri dalam suatu kesempatan mengatakan, bagi hasil migas bagi daerah penghasil belum transparan. Begitu pula tambang-tambang minyak dianggap belum sepenuhnya memajukan masyarakat Muba dari belenggu kemiskinan. "Seolah mereka menjadi penonton di negeri sendiri," katanya.
Robert menyambut positif UU No.22/2002 bahwa perusahaan daerah boleh mengelola Migas. Berangkat dari sini dibentuklah PT Petro Muba sebagai badan usaha milik daerah (BUMD) yang diharapkan bisa mengambil manfaat sumber daya migas di Muba agar masyarakat dapat menikmatinya.

Setelah berjalan setahun, perusahaan ini berkembang menjad holding company melalui lima anak perusahaannya meliputi minyak industri hilir dan hulu, kimia, listrik, dan properti. Robert belum bisa merinci nilai proyek yang digarap seiring belum banyaknya tawaran kerja sama bisnis.
Diakui, penggalian potensi minyak yang menjadi salah satu unggulan Muba tidaklah mudah sehingga Petro Muba melalui anak perusahaan PT Muba Oil, menggaet investor minyak China.
Shengli Oilfield Of Sinopec yang berkantor di Propinsi Shandong, China telah menandatangani MOU dengan Pemkab Muba. PT Kilang Muba yang 51% sahamnya dimiliki Petro Muba dan selebihnya ITB, telah membangun kilang di Kecamatan Babattoman sekitar dua jam dari Sekayu dengan nilai Rp10 miliar.
Sedangkan PT Dewi Tunggal Brata, salah satu grup Texmaco, akan membangun kilang methanol terbesar di Asia Tenggara berlokasi di Desa Gresik, Kecamatan Sungaililin, Muba. Modal yang ditanamkan mencapai US$500 juta. Pembagian sahamnya 60% PT Petro Muba dan selebihnya dikuasai Grup Texmaco.

Bagi hasil

Bagi hasil yang diperoleh Muba dari migas tidak kecil. Ini tentunya sesuai dengan hasil migas yang disumbangkan daerah ini untuk negara. Pada 2003, misalnya, hasil migas kota ini mencapai Rp3,04 triliun, meningkat menjadi Rp4,1 triliun 2004, dan meningkat cukup tajam mencapai Rp12,8 triliun tahun berikut. Sementara bagi hasil yang diterima pada 2003 mencapai Rp212 miliar dan Rp289 miliar 2004.
Sayangnya, penerimaan bagi hasil yang diterima biasanya tertunda hingga triwulan berikutnya. Seperti 2006, pada triwulan pertama dana bagi hasil yang diterima sebesar Rp250 miliar harus diterima pada triwulan berikutnya.
"Akibatnya banyak kegiatan dan pendanaan yang tertunda dan menimbulkan gejolak kalau tidak bisa diantisipasi," ujar Alex Noerdin yang juga Ketua Umum Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM).

Alex yakin dengan dukungan semua pihak, dana bagi hasil yang diterima daerah bisa lebih berdaya guna dan optimal kalau dilakukan transparan dan tidak tertunda. Paling tidak bisa membangkitkan motivasi bagi daerah untuk lebih bergiat.
Read More..

Jumat, 06 Februari 2009

Sarjana Indonesia, Pecundang di Rumah Sendiri

Program pendidikan S1 (Strata 1) itu hanya ada di Indonesia. Kurikulum program ini memiliki beban minimal 140SKS (satuan kredit semester). Kurikulum Nasional Perguruan Tinggi, 1994 yang pada umumnya terbagi dalam 8 semester dengan waktu studi 4 tahun. Namun pada kenyataannya banyak mahasiswa S1 tidak dapat menyelesaikan studi dalam 4 tahun. terutama bagi mahasiswa jurusan teknik. Molornya waktu studi ini biasanya terjadi di tahun-tahun terakhir ketika mahasiswa harus menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi, terutama yang berbasis penelitian lapangan atau penelitian laboratorium. Waktu studi total bagi mahasiswa jurusan teknik umumnya menjadi 4 1/2 sampai 5 tahun.

Program pendidikan S1 tidak dikenal di negara lain. Di Malaysia, Singapura, Filiphine, Thailand, India, Australia, bahkan Amerika Serikat dan Inggris. Program pendidikan tinggi terbagi menjadi dua, yaitu program undergraduate (bachelor degree) dan program graduate (master degree). Undergraduate program umumnya memiliki beban studi 120 SKS, sedangkan master program 150 SKS. Untuk menyelesaikan undergraduate program biasanya diperlukan waktu studi sekitar 3 tahun, dan jika diteruskan ke tingkat master, diperlukan waktu studi 2 tahun lagi, sehingga untuk meraih master degree diperlukan waktu studi sekitar 5 tahun. Jika program S1 kita bandingkan dengan kedua program di atas, tampak bahwa program S1 itu banci dan tanggung. Ia mempunyai beban lebih besar dari program undergraduate tetapi lebih kecil dari program graduate (master).

“Kebancian” program S1 kita ini pada kehidupan keseharian ternyata lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Kerugian lebih dirasakan terutama oleh sarjana S1 yang bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional, baik yang berdomisili di dalam negeri maupun di luar negeri. Perusahaan-perusahaan semacam ini menerapkan standar atau kualifikasi internasional dalam merekrut karyawannya. Dan jika itu menyangkut tenaga kerja berkualifikasi lulusan perguruan tinggi, mereka hanya mengenal kualifikasi undergraduate (bachelor) degree dan graduate (master) degree. Mereka tidak mengenal S1 degree. Jika pun terpaksa harus menerima mereka yang berkualifikasi S1, perusahaan internasional ini akan menyamakan kualifikasi S1 bukannya setara dengan master degree melainkan dengan undergraduate (bachelor) degree (menyedihkan sekali). Ini berarti kelebihan beban studi sekitar 20 SKS, atau dari segi waktu studi sekitar 1 sampai 2 tahun, tidak mendapatkan penghargaan/kompensasi sebagaimana mestinya.

Gaji, pendapatan atau peringkat lulusan S1 yang bermasa studi 4 sampai 5 tahun di perusahaan semacam ini disamakan dengan lulusan undergraduate yang bermasa studi 3 tahun. Berarti lulusan S1 kita rugi dari segi waktu, biaya dan tenaga. Kerugian jenis lainnya juga dialami oleh para lulusan S1 yang memiliki kesempatan untuk meneruskan studi ke program master di luar negeri. Perguruan tinggi negara tujuan biasanya mengharuskan lulusan S1 Indonesia untuk tetap mengambil beban studi sebanyak 30 sks seperti halnya lulusan undergraduate setempat. Jika program S1 kita diakui oleh mereka, maka seharusnya kita tinggal menempuh 20 sks saja untuk menyelesaikan program graduate (master). Untuk menyelesaikan masternya, lulusan S1 kita pada akhirnya harus menanggung beban studi sekitar 170 SKS (140 SKS beban S1 + 30 SKS beban program graduate (master).

Oleh karenanya tidak mengherankan jika mahasiswa-mahasiswa program master dari Indonesia umumnya lebih tua dari mahasiswa setempat. Dari sudut pengembangan prestasi dan karier jelas yang lebih muda lebih banyak memiliki peluang daripada yang lebih tua. Ini berarti tenaga-tenaga berkualifikasi master degree Indonesia kurang kompetitif dari segi umur dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang sama-sama berkualifikasi master dari negara-negara lain.

Kerugian lulusan S1 tidak hanya terjadi di luar negeri saja, melainkan juga di dalam negeri. Kadang kala kita masih dapat menerima jika perguruan tinggi di luar negeri tidak mengakui kualifikasi lulusan S1 yang berbeban studi 140 SKS karena berkaitan dengan faktor “pride” atau prestise perguruan tinggi atau negara bersangkutan. Namun bagaimana jika perguruan tinggi dalam negeri yang meluluskan S1-nya sendiri ternyata juga tetap mengharuskan tambahan beban studi sebanyak 30 sampai 36 SKS untuk meraih gelar magister atau S2? Bukankah ini ironis? Bukankah seharusnya, apabila mengacu ke program magister internasional yang berbeban studi sekitar 150-an SKS, lulusan S1 kita tinggal menempuh 10-15 SKS lagi untuk menyelesaikan program S2 dalam negeri?

Sampai saat ini rasanya belum terlihat adanya usaha dari pihak-pihak yang berkompeten untuk mencermati masalah kerugian yang diakibatkan oleh “kebancian” program S1 kita. Kerugian waktu yang dialami oleh para mahasiswa dan lulusan S1 kita itu jelas memiliki korelasi dengan besarnya biaya, tenaga, dan energi yang dikeluarkan. Ternyata juga jika dihitung secara sepintas, memunculkan jumlah biaya yang tidak sedikit. Jika perkiraan total biaya kuliah per-mahasiswa per-tahun adalah Rp. 10 juta (angka ini berasal dari perkiraan jumlah biaya SPP per tahun sekitar Rp. 4 juta beserta biaya hidup setahun sekitar Rp 6 juta) maka kerugian waktu 2 tahun per-mahasiswa adalah sekitar Rp. 20 juta. Dan jika angka ini dikalikan dengan puluhan juta mahasiswa S1 di seluruh Indonesia, maka angka biaya (kerugian) yang muncul akan sangat mencengangkan, besarnya bisa sampai puluhan triliun rupiah.

Selain aspek kerugian biaya di atas, aspek kerugian waktu sekitar 1 sampai 2 tahun bagi mahasiswa S1 di era informasi terasa semakin signifikan, karena hal yang bisa dilakukan dan dicapai dalam waktu 2 tahun menjadi lebih mudah dibandingkan di era-era sebelumnya. Jarak dan ruang semakin dekat berkat kemajuan teknologi informasi seperti internet, email, dan telepon seluler. Jika program S1 kita berwaktu studi 3 tahun, maka lulusan S1 kita dapat menyingkat waktu 1 sampai 2 tahun. Selama waktu 1 sampai 2 tahun itu, banyak hal dapat dilakukan oleh para lulusan S1.

Dengan menggunakan kemajuan teknologi informasi yang efisien, mereka dapat dengan cepat mengakses berbagai informasi yang berkaitan dengan pengembangan studi dan karier. Lulusan S1 akan berumur sekitar 22 tahun, masih muda, masih cukup banyak waktu untuk melakukan adjustment (penyesuaian) dalam mencari lapangan pekerjaan ataupun beralih profesi sesuai dengan tuntutan jaman. Jika program S1 tetap bertahan dengan masa studi 4 sampai 5 tahun, maka waktu penyesuaian itu menjadi sempit, sehingga dimungkinkan akan lebih banyak lulusan S1 menganggur. Dipertahankannya program S1 hingga saat ini menunjukkan bahwa kita irrasional, di satu sisi menyadari akan adanya era informasi, di sisi lain seolah-olah tidak peduli dengan aspek pentingnya efisiensi. Tahun 2010, tahun pasar bebas global, sudah tinggal setahun lagi. Satu-satunya cara untuk dapat survive di era tersebut, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, adalah dengan memiliki daya saing yang tinggi.


Program Undergraduate dan keuntungannya

Diterapkannya undergraduate program dan graduate (master) program di manca negara menunjukkan, bahwa program studi ini lebih mantap dan lebih “internationally-accepted”. Jika program studi S1 dan S2 menjadi program studi yang setara dengan undergraduate program dan graduate (master) program di manca negara, rasanya banyak keuntungan yang akan diperoleh, antara lain:
Lulusan S1 kita akan memiliki daya-saing yang lebih berimbang terutama dari segi umur karena beban dan waktu studinya sama dengan lulusan undergraduate dari manca negara.
Tidak ada kerugian waktu bagi lulusan S1 yang ingin meneruskan studinya ke jenjang graduate (master) program, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri
Program S2 dalam negeri menjadi lebih menarik bagi lulusan S1 (undergraduate) yang ingin meneruskan studinya karena dia masih cukup muda untuk meneruskan studinya ke S2 yang berwaktu studi 2 tahun. Yang terjadi saat ini adalah banyak program magister, (kecuali program magister manajemen), di dalam negeri yang tidak laku karena kekurangan peminat. Hal ini antara lain disebabkan lulusan S1 sudah merasa "jenuh” belajar. Jika ingin meneruskan ke S2, mereka kuatir umurnya sudah tidak kompetitif lagi (sekitar 27-28 tahun). Padahal banyak perusahaan dan instansi yang mempersyaratkan batas umur penerimaan.
Lulusan program magister akan jauh lebih banyak karena waktu studi lebih singkat, sehingga biayanya lebih murah. Jika lulusan magister semakin banyak maka benchmark kualitas SDM kita semakin meningkat, tidak lagi level S1 melainkan level S2 atau level magister, mendekati kualitas SDM di negara-negara yang lebih maju.
Sedangkan kendala yang akan muncul jika kita mengubah program S1 menjadi program seperti undergraduate program dan graduate (master) program, antara lain:
Perlu diadakan peraturan penyesuaian tentang hubungan antara lulusan perguruan tinggi yang tidak lagi mengacu pada kriteria lulusan S1 lama (140 SKS) melainkan dengan lulusan S1 baru yang setara dengan undergraduate (bachelor) degree.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan pasar bebas di tahun 2010, kita dituntut mampu berkompetisi dengan SDM dari negara mana pun. Jika program S1 kita ini tetap kita pertahankan, maka pada saat implementasi AFTA tiba, kita dapat mengharapkan munculnya suatu gambaran menyedihkan seperti berikut ini:

Ketika lulusan undergraduate manca negara “menyerbu” masuk ke Indonesia dan diterima di perusahaan-perusahaan multinasional yang kemungkinan semakin banyak jumlahnya, teman-teman sebayanya di Indonesia yang kuliah S1 pada saat yang sama masih nongkrong di kampus menyelesaikan studinya 1 hingga 2 tahun lagi. Ketika para S1-wan selesai kuliah, teman-teman asing yang hanya berbekal undergraduate degree itu telah memiliki pengalaman kerja 1 sampai 2 tahun. Gaji dan pangkatnya tentu lebih tinggi dibandingkan debutan S1 Indonesia yang baru saja diterima bekerja. Titik awal pekerjaan antara lulusan S1 Indonesia dan undergraduate manca negara sama, karena perusahaan multinasional itu tidak mengakui kualifikasi S1. Lulusan S1 kita kalah bersaing, dan menjadi pecundang di “rumahnya” sendiri.

Akankah kita menutup mata terhadap terjadinya bencana inefisiensi sistem pendidikan tinggi kita ini?(*)
Read More..