Tampilkan postingan dengan label INFO. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label INFO. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 September 2009

Asal Mula Minyak dan Gas Bumi

I. TEORI ANORGANIK VS ORGANIK

Teori dari Asal mula minyak dan gas bumi pada saat ini dapat diklasifikasikan dari teori anorganik dan organik. Teori anorganik menyebutkan bahwa minyak terbentuk sebagai akibat dari adanya reaksi kimia antara air, karbon dioksida (CO2) dan subtansi anorganik lainnya seperti carbide dan carbonat yang terjadi di bumi. Sedangkan teori organik menyatakan bahwa minyak berasal dari dekomposisi tumbuh-tumbuhan dan binatang yang hidup jutaan tahun yang lalu.

Sebenarnya teori Anorganik diperkuat dengan adanya fakta bahwa minyak dapat diproduksikan dilaboratorium dengan melakukan reaksi kimia dari material-material anorganik, hanya saja fakta geologi menyatakan bahwa material-material anorganik tersebut tidak eksis di muka bumi dengan jumlah yang cukup yang dapat menyebabkan minyak terakumulasi. Secara umum para ilmuwan telah meninggalkan teori anorganik.


Selengkapnya download di sini
Read More..

Sabtu, 15 Agustus 2009

600 Sumur Minyak Tua Masih Berpotensi

PALEMBANG – Dinas Pertambangan dan Pengembangan Energi (Distamben) Provinsi Sumsel menyatakan, sedikitnya terdapat 600 lebih sumur tua di Sumsel yang masih berpotensi dan masih memungkinkan untuk dieksploitasi.Dari jumlah itu, sumur minyak tua paling banyak di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Kepala Distamben Provinsi Sumsel Akhmad Bahtiar Amin mengatakan, pihaknya belum bisa mendata sumur tua ilegal yang dilakukan eksploitasi secara liar.

Sebab, pihaknya sendiri mengalami kesulitan mendata karena setiap penertiban dilakukan, para penambang liar sudah lebih dulu kabur. “Dalam pengelolaan sumur tua ini,pemprov berencana mengeluarkan peraturan daerah (perda). Namun, sebelumnya segera dikeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Sumsel.

Peraturan menteri (permen) sudah ada, yakni sumur minyak tua bisa diusahakan melalui KUD dan BUMD,”ujar Akhmad. Namun,menurut Akhmad,kendala yang dialami KUD saat ini yakni dari segi permodalan.Selain itu, ada syarat teknis kalau mau mengusahakan sumur tua yang harus dipenuhi. Jika ada KUD minta izin dan blok beberapa sumur, perlu pembinaan terlebih dahulu.

Selain itu,pihak KUD harus dicarikan partner supaya bisa diarahkan dan tidak menyalahi kaidah-kaidah yang berlaku dalam bidang perminyakan.Kendati demikian,dengan pergub yang dikeluarkan nanti, akan diinventarisasi KUD yang mana saja yang memenuhi syarat. “KUD itu akan kita bina, dan dicarikan partner.Semuanya diatur dengan peraturan, mudah-mudahan jika hal itu jalan datangkan pendapatan bagi KUD,”kata Akhmad.

Dia menambahkan, sejauh ini usia sejumlah sumur minyak tua belum bisa diprediksi karena harus didapatkan dulu data eksplorasinya. Bahkan, meski umumnya sumur minyak tua sudah dieksplorasi sejak 1970-an, biasanya KUD dan BUMD yang akan mengusahakan sumur minyak tua akan menghitung lagi potensi kandungan sumur.

Selanjutnya, debit itu akan dibagi dengan rencana produksi per tahunnya. Sementara itu,Wakil Gubernur Sumsel H Eddy Yusuf menuturkan, dalam hal pengelolaan sumur tua mesti disiapkan penyertaan modal oleh BUMD seperti yang tertuang dalam APBD.Pasalnya,BUMD dan koperasi sangat potensial mengeksplorasi sumur tua agar tidak dibiarkan terbengkalai.

Sebelumnya, Kepala Perwakilan BP Migas Sumbagsel Eko Hariadi mengatakan, potensi sumur tua masih cukup banyak,dan diperkirakan masih bisa diambil hingga 5.000 barel per hari. Bahkan, bila dikelola dengan baik,maka dapat menciptakan perekonomian suatu daerah.Apalagi, pengelolaan sumur tua juga telah diatur Permen ESDM No 1/2008 dan telah ada petunjuk teknis, termasuk prosedur dan tata caranya.

Sumber : berita-muba
Read More..

Sabtu, 18 Juli 2009

Ditemukan Sumur Minyak Baru di Perbatasan Muba

PALEMBANG – Batas produksi minyak berkisar 20 tahun. Namun, kondisi tersebut sepertinya tidak berlaku di Provinsi Sumatera Selatan. Sebab, rata-rata cadangan minyak dari sumur yang ada di atas 10 tahun. Belum lagi jika ditemukan ladang minyak baru dengan potensi yang besar. Potensi Sumsel inilah yang menarik minat investor menanamkan modalnya di bidang perminyakan.

Setidaknya, hingga sekarang enam perusahaan minyak yang telah berproduksi. Keenam perusahaan itu, TAC Pertamina, Medco, Conoco Philip, Golden Spike Indonesia Ltd, PT Tetley dan Talisman Energy Inc. “Nah, ini ada satu lagi yang akan segera produksi dalam empat bulan ke depan yakni PT Sele Raya Merangin II. Artinya, sudah ada tujuh perusahaan minyak yang produksi,”jelas Kepala Dinas Pertambangan dan Energi, Ir Akhmad Bakhtiar Amin, kemarin.

PT Sele Raya menemukan sumur minyak baru dengan cadangan minyak mencapai 6 juta barel. Lokasinya berada di perbatasan Muba, Mura dan Sorolangun (Jambi). Sebelum melaksanakan proses produksi, pihak Sele Raya berkonsultasi dengan jajaran Pemprov Sumsel. Termasuk mendapatkan izin dari Menteri ESDM. “Mereka harus pula menawarkan 10persen participating interest kepada pemerintah daerah,”jelas Bakhtiar.

Saat ini, produksi minyak Sumsel per tahunnya sekitar 434 juta barel, sedang gas 104,331 juta barel. Cadangan berkisar 200 miliar barel. Jumlah tersebut diperkirakan baru akan habis 20 tahun ke depan jika produksinya berkisar 400-an juta barel per tahun.

Dikatakan, yang menjadi sorotan di bidang pertambangan, khususnya minyak dan gas bumi adalah masalah bagi hasil. Kecenderungan, pemerintah daerah yang wilayahnya terdapat tambang minyak dan gas tidak mendapatkan kontribusi pemasukan setara dengan potensi alam yang dikuras habis. Bukan karena pembagian tidak adil, tapi lantaran persentase bagi hasil yang begitu kecil.

Untuk minyak, tambah dia, bagi hasilnya hanya 15 persen dan gas 30 persen. Menurut Kadistamben, bagi hasil minyak 6 persen daerah penghasil, 3 persen bukan penghasil dan 3 persen pemerintah provinsi. Sisanya untuk pemerintah pusat.

Begitu pula untuk gas, 6 persen untuk daerah penghasil gas, 12 persen daerah bukan penghasil dan 6 persen pemerintah provinsi. Sisanya lagi-lagi untuk pemerintah pusat. “Kita inginnya kalau bisa pemerintah pusat mengkaji kembali besaran persentase bagi hasil tersebut agar ada kontribusi yang lebih besar bagi daerah,”tukasnya.

Tahun 2009, perkiraan dan bagi hasil minyak sekitar Rp250 miliar dan gas Rp500 miliar. Angka perkiraan ini lebih besar dari tahun 2008 lalu. Pihaknya menargetkan, penerimaan bagi hasil minyak dan gas tahun 2010 lebih besar dari tahun ini. “Setidaknya, ada kenaikan sekitar 10 persen dibanding yang akan kita terima tahun 2009 ini,”pungkas Bakhtiar.


Sumber : sumeks.co.id

Read More..

Eksplorasi Abiogenic Oil

Barangkali masih ingat pelajaran Kimia saat SMA dulu, katalisator adalah zat yang membantu mempercepat suatu reaksi kimia. Sintesis FT adalah paradigma anorganik, jelas tak bisa dikaitkan ke analisis tipe kerogen, TOC, rock-eval pyrolysis. Kalau di lingkungan geotektonik, bahan bakunya hanya CO atau CO2 hasil dekarbonasi karbonat yang masuk ke wilayah termal tinggi dan H dari proses serpentinisasi peridotit yang dibantu air laut.

Bagaimana melakukan peringkat prospek dan menghitung GCF-nya ? Tentu akan lain sekali dengan paradigma organik, juga menghitung volumetriknya. Belum ada yang spesifik tentang hal ini, tetapi yang saya bayangkan adalah menghitung : ketebalan karbonat, domain termal, berapa mudah degradasi termal karbonat, dll. Perangkap, reservoir, penyekat, dan jalur migrasi bisa sama dengan paradigma organik, yang berbeda hanya source rock dan proses maturasi serta ekspulsinya.

Dalam siklus Wilson, kebanyakan sintesis FT di lingkungan geotektonik ini yaitu pada tahapan subduction dan collision, dengan syarat ada lapisan karbonat tebal yang masuk ke zone collision dan subduction. Di Indonesia Timur, kandidat seperti itu banyak terjadi. Kalau benar terjadi, generated hydrocarbons-nya akan masuk ke pro-foreland basin atau retro-foreland basin hasil collision.

Sedikit lebih detail lagi adalah seperti di bawah ini.

Sintesis Fischer-Tropsch (FT) (Fischer dan Tropsch, 1923) merupakan suatu sintesis teknik kimia yang menghasilkan hidrokarbon sintetik dari gas-gas carbon monoxide atau carbon dioxide dan hidrogen dengan menggunakan katalis metallic iron atau iron-oxide. Hidrokarbon sintetik ini wujudnya bisa seperti gas, minyak maupun lilin - persis seperti hidrokarbon organic dari pematangan kerogen. Jerman dalam PD II membuat hidrokarbon sintetik ini, setahunnya bisa tujuh juta barel dihasilkan atau satu juta ton setahun. Tahun 1980, sebuah perusahaan di Afrika Selatan mampu membuat minyak sintetik melalui sintesis FT 127,000 bbl/hari. .

Proses F-T synthesis seperti fotosintesis yaitu menghasilkan senyawa organic melalui hidrogenasi (penambahan gugus H) secara katalitik (menggunakan katalisator) dan melakukan polimerisasi reduktif carbon monoxide atau carbon dioxide. Untuk membuat senyawa yang mirip campuran hidrokarbon, ikatan carbon-oxygen harus dilepaskan dulu dan menggantinya dengan ikatan carbon-carbon atau carbon-hydrogen melalui hidrogenasi. Katalis yang digunakan untuk keperluan ini umumnya logam Golongan 8 (besi, kobal, nikel, platina, dll) atau oksidanya.



Kondisi-kondisi FT synthesis ini bisa terjadi di alam. Bahan dasar dan energi yang dibutuhkan sintesis FT berlimpah di Bumi (CO2 atau CO, hydrogen, dan metallic iron atau iron oxide; dan bahang/panas).

Di Bumi, CO2 tersimpan dalam bentuk batuan karbonat, dulunya asal CO2 ini dari atmosfer purba. Simpanan CO2 di batuan karbonat ini 10.000 kali lebih banyak daripada yang ada di atmosfer. Simpanan CO2 di dalam batuan ini akan dibebaskan kembali melalui metamorfisme dan dekarbonasi. Temperatur yang diperlukan untuk decarbonation terdapat di wilayah2 subduction, intrusi magmatik, dan rifting. Dekarbonasi ini akan menghasilkan CO2 yang naik dari tempat dalam ke wilayah-wilayah accretionary prisms, backarc basins, foreland basin di collision zone, baik dengan atau tanpa aktivitas volkanisme.

Dari mana sumber hidrogen untuk keperluan hidrogenasi ? Dari serpentinisasi of peridotites/ophiolites. Peridotites yang berubah menjadi serpentinites akan melepaskan hidrogen dengan bantuan air pada temperatur di bawah 500° C. Bukti ini ditemukan pada proses serpentinisasi dalam berbagai temperatur di air sepanas 400° C yang keluar dari hydrothermal vents di East Pacific Rise. Sejumlah hidrogen juga telah ditemukan terbentuk di kompleks peridotit Oman ophiolites (Neal and Stanger, 1983). Dalam percobaan di laboratorium pun ditemukan bahwa hidrogen digenerasikan selama Janecky dan Seyfriend (1986) ketika mereka menggunakan airlaut untuk meng-serpentinisasi oceanic peridotites pada temperatur 200° and 300° C dan tekanan 500 bars.

Metallic iron-yang merupakan katalis utama F-T tak banyak terdapat di Bumi, dan walaupun ada cepat mengalami peracunan oleh sulfide, sulfate, dan chloride ions. Tetapi, catalysts F-T synthesis dapat juga dilakukan oleh iron oxides magnetite dan hematite yang lebih berlimpah kberadaannya dan kurang terpengaruh oleh sulfur poisoning daripada metallic iron.
Szatmari (Szatmari, 1989), ahli dari Petrobras yang telah banyak melakukan penelitian sistem hidrokarbon anorganik, melakukan eksperimen sintesis FT dan menunjukkan bahwa serpentinisasi dalam lingkungan yang kaya CO2 menghasilkan partial conversion CO2 menjadi hydrocarbons, khsusnya metana. methane. Pembentukan hidrokarbon menggunakan F-T synthesis bisa terjadi selama lithospheric plate interaction.

Lingkungan geotektonik yang paling sesuai untuk sintesis FT adalah subduction and collision zones in sebab subducted sediments-nya banyak mengandung carbonates atau ophiolite sheet-nya rebah (overthrusting) di atas karbonat. Air dan degassed carbon dioxide karena panas, naik dari subducted sediments sepanjang dasar ophiolites, menimbulakn kondisi serpentinisasi, reducsi H2O dan CO2, and sintesisnya menuu hydrocarbons. Berat ophiolite thrust sheets membantu migrasi fluida yang dihasilkan. Keberadaan vertical faults sebagai conduits cukup penting.

Sumber : http://geologi.iagi.or.id/
Read More..

Terjadinya Minyak Bumi : Biogenic and/or Abiogenic

Perdebatan tentang asal hidrokarbon apakah digenerasi secara biogenik (organik) dan/atau abiogenik (anorganik) masih terus berlangsung. Kedua kubu pemikiran bisa dipertemukan pada Juni 2005 di Calgary, Canada pada suatu konferensi yang disponsori AAPG –Hedberg Research Conference on “Origin of Petroleum”. Suatu ciri bahwa teori anorganik tidak lagi dipandang apriori. Laporan tentang konferensi ini baru dipublikasikan pada AAPG Bulletin edisi Mei 2008 (Katz dkk., 2008). Laporan ini saya pikir netral alias tidak memihak kepada satu kubu sebab ditulis secara bersama oleh para pendukung teori biogenic dan/atau abiogenic.

Memahami hidrokarbon asal organik atau anorganik tentu bukan sekedar memuaskan dahaga akademik dan sains, teori apa yang diterima atau diterapkan akan menentukan bagaimana suatu strategi eksplorasi dijalankan, ke mana ia akan mengarahkan eksplorasinya, misalnya : ke cekungan sedimen yang menjauhi intrusi magmatik, atau malahan mendekatinya.

Dalam konferensi itu dibahas 14 makalah yang mendiskusikan data dan bukti tentang asal hidrokarbon secara biogenic dan abiogenic. Di kubu organic antara lain ada : Claypool, Dow dan Moldowan. Di pihak anorganik ada : Leonov, Szatmari, dan Titkov. Berbagai konsep tentang cara pembentukan hidrokarbon secara abiogenic dipaparkan. Secara garis besar, konsep-konsep abiogenic ini dapat dibagi menjadi dua : mantle degassing yang berasosiasi dengan polimerisasi senyawa dengan berat molekul rendah, dan serpentinisasi yang berhubungan dengan reaksi Fischer-Tropsch (FT) Reaksi FT adalah reaksi dengan katalisator yang mengubah CO dan H menjadi hidrokarbon. Presentasi asal biogenic menghadirkan model tunggal yang sudah kita ketahui dengan baik : zat organic di dalam sediment secara termal diubah menjadi minyak dan gas.

Dilaporkan oleh Katz dkk. (2008) bahwa secara umum bisa dikatakan tak ada kesepakatan di antara dua kubu pemikiran itu, tetapi semua peserta konferensi mengakui bahwa pertemuan ini penting, informatif, membawa pekerjaan rumah untuk setiap kubu pemikiran buat dilakukan evaluasi-evaluasi lanjutan.

Ringkasan pertemuan dan diskusi para ahli adalah seperti berikut ini.

Diamati bahwa akumulasi hidrokarbon anorganik dalam jumlah kecil yang tak ekonomis memang terjadi di beberapa tempat. Belum jelas untuk para penyokong organic bahwa ada akumulasi anorganik yang komersial. Klaim hidrokarbon di crystalline basement yang oleh para pendukung anorganik dikatakan sebagai bukti abiogenik ternyata dapat dikorelasikan dengan batuan induk dari sediment yang menutupi basement itu atau yang posisinya lebih rendah dari basement high (seperti kasus gas di Suban basement yang source-nya berasal dari Lemat/Talang Akar).

Beberapa mekanisme anorganik juga melibatkan tahapan organic yang mengubah metana asal mantel menjadi hidrokarbon yang lebih berat, atau terjadi bersamaan dengan mekanisme organic. Diakui bahwa mekanisme anorganik bisa memperpanjang umur sumberdaya hidrokarbon secara global yang saat ini hanya berdasarkan mekanisme organic. Tetapi, dengan tidak adanya mekanisme anorganik yang tunggal, sulit untuk menerapkan secara efektif program-program eksplorasi yang berdasarkan konsep anorganik. Para pendukung organic berpendapat bahwa konsep anorganik tak menghadirkan lokasi-lokasi mana yang spesifik untuk dilakukan eksplorasi secara anorganik, dan konsep ini juga belum memiliki cara bagaimana menghitung volume hidrokarbonnya (kalau menghitung volume hidrokarbon organic dari suatu kitchen sediment tentu sudah biasa dilakukan).

Biogenic origin juga punya beberapa kesulitan, misalnya issue fungsi batubara dalam pembentukan hidrokarbon (minyak khususnya), masalah efisiensi ekspulsi dan proses migrasi. Mekanisme tunggal pembentukan hidrokarbon secara organic memudahkan merumuskan strategi eksplorasi dan estimasi volumetrik. Kita bisa mengestimasi di mana banyak zat organic di cekungan sediment diendapkan, di mana zat organic di dalam sediment yang matang, berapa jumlahnya, ke mana kecenderungan migrasinya, dan lain-lain.

Baik kubu anorganik maupun organic mempunyai tema riset bersama : migrasi fluida di bawah permukaan. Penyokong anorganik punya PR menjawab bagaimana fluida termasuk gas bermigrasi dari mantel dan kerak Bumi melalui lapisan-lapisan Bumi yang impermeable kemudian memasuki cekungan sediment. Penyokong organic punya PR menyangkut efisiensi migrasi dan bagian yang hilang selama terjadi migrasi.

Dilaporkan Katz dkk (2008) bahwa semua peserta merasa puas dengan konferensi ini walaupun pada umumnya mereka tetap berpendapat sesuai kubu pemikiran sebelumnya, tetapi mereka punya pandangan-pandangan baru hasil tukar-menukar ide, tantangan-tantangan yang diajukan pihak “lawan”. Ini semua akan menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk memperluas horizon berpikir.

Demikian status terkini tentang perkembangan teori asal hidrokarbon. Terlampir abstrak makalah yang pernah saya tulis mencoba menerapkan sintesis FT dalam eksplorasi hidrokarbon di Indonesia Timur.

Sumber : http://geologi.iagi.or.id/
Read More..

Kamis, 16 Juli 2009

Potensi Pengembangan Biodiesel di Indonesia




Hingga saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar berbasis fosil sebagai sumber energi. Data yang didapat dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa dengan persediaan minyak mentah di Indonesia, yaitu sekitar 9 milyar barrel, dan dengan laju produksi rata-rata 500 juta barrel per tahun, persediaan tersebut akan habis dalam 18 tahun. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan memenuhi persyaratan lingkungan global, satu-satunya cara adalah dengan pengembangan bahan bakar alternatif ramah lingkungan.

Pemilihan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif berbasis pada ketersediaan bahan baku. Minyak rapeseed adalah bahan baku untuk biodiesel di Jerman dan kedelai di Amerika. Sedangkan bahan baku yang digunakan di Indonesia adalah crude palm oil (CPO). Selain itu, masih ada potensi besar yang ditunjukan oleh minyak jarak pagar (Jathropa Curcas) dan lebih dari 40 alternatif bahan baku lainnya di Indonesia.




Indonesia adalah penghasil minyak sawit terbesar kedua setelah Malaysia dengan produksi CPO sebesar 8 juta ton pada tahun 2002 dan akan menjadi penghasil CPO terbesar di dunia pada tahun 2012. Dengan mempertimbangkan aspek kelimpahan bahan baku, teknologi pembuatan, dan independensi Indonesia terhadap energi diesel, maka selayaknya potensi pengembangan biodiesel merupakan potensi pengembangan biodiesel sebagai suatu alternatif yang dapat dengan cepat diimplementasikan.

Walaupun pemerintah Indonesia menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap pengembangan biodiesel, pemerintah tetap bergerak pelan dan juga berhati-hati dalam mengimplementasikan hukum pendukung bagi produksi biodiesel. Pemerintah memberikan subsidi bagi biodiesel, bio-premium, dan bio-pertamax dengan level yang sama dengan bahan bakar fosil, padahal biaya produksi biodiesel melebihi biaya produksi bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan Pertamina harus menutup sendiri sisa biaya yang dibutuhkan.

Sampai saat ini, payung hukum yang sudah disediakan oleh pemerintah untuk industri biofuel, dalam bentuk Keputusan Presiden ataupun Peraturan Perundang-undangan lainny, adalah sebagai berikuti:
1.Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijaksanaan Energi Nasional
2.Instruksi Presiden No. 1/2006 tentang Pengadaaan dan Penggunaan Biofuel sebagai Energi Alternatif
3.Dektrit Presiden No. 10/2006 tentang Pembentukan team nasional untuk Pengembangan Biofuel

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menyebutkan pengembangan biodiesel sebagai energi terbarukan akan dilaksakan selama 25 tahun, dimulai dengan persiapan pada tahun 2004 dan eksekusi sejak tahun 2005. Periode 25 tahun tersebut dibagi dalam tiga fasa pengembangan biodiesel. Pada fasa pertama, yaitu tahun 2005-2010, pemanfaatan biodiesel minimum sebesar 2% atau sama dengan 720.000 kilo liter untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak nasional dengan produk-produk yang berasal dari minyak castor dan kelapa sawit.

Fasa kedua (2011-2015) merupakan kelanjutan dari fasa pertama akan tetapi telah digunakan tumbuhan lain sebagai bahan mentah. Pabrik-pabrik yang dibangun mulai berskala komersial dengan kapasitas sebesar 30.000 – 100.000 ton per tahun. Produksi tersebut mampu memenuhi 3% dari konsumsi diesel atau ekivalen dengan 1,5 juta kilo liter. Pada fasa ketiga (2016 – 2025), teknologi yang ada diharapkan telah mencapai level ‘high performance’ dimana produk yang dihasilkan memiliki angka setana yang tinggi dan casting point yang rendah. Hasil yang dicapai diharapkan dapat memenuhi 5% dari konsumsi nasional atau ekivalen dengan 4,7 juta kilo liter. Selain itu juga terdapat Inpres Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain. Hal-hal ini menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam penyediaan dan pengembangan bahan bakar nabati. (Rahayu, 2006)

Hingga Mei 2007, Indonesia telah memiliki empat industri besar yang memproduksi biodiesel dengan total kapasitas 620.000 ton per hari. Industri-industri tersebut adalah PT Eterindo Wahanatama (120.000 ton/tahun – umpan beragam), PT Sumi Asih (100.000 ton/tahun – dengan RBD Stearin sebagai bahan mentah), PT Indo BBN (50.000 ton/tahun – umpan beragam), Wilmar Bioenergy (350.000 ton/tahun dengan CPO sebagai bahan mentah), PT Bakrie Rekin Bioenergy (150.000 ton/tahun) dan PT Musim Mas (100.000 ton/tahun). Selain itu juga terdapat industri-industri biodiesel kecil dan menengah dengan total kapasitas sekitar 30.000 ton per tahun, seperti PT Ganesha Energy, PT Energi Alternatif Indonesia, dan beberapa BUMN.



Peluang untuk mengembangkan potensi pengembangan biodiesel di Indonesia cukup besar, mengingat saat ini penggunaan minyak solar mencapai sekitar 40 % penggunaan BBM untuk transportasi. Sedang penggunaan solar pada industri dan PLTD adalah sebesar 74% dari total penggunaan BBM pada kedua sektor tersebut. Bukan hanya karena peluangnya untuk menggantikan solar, peluang besar biodiesel juga disebabkan kondisi alam Indonesia. Indonesia memiliki beranekaragam tanaman yang dapat dijadikan sumber bahan bakar biodiesel seperti kelapa sawit dan jarak pagar. Pada saat ini, biodiesel (B-5) sudah dipasarkan di 201 pom bensin di Jakarta dan 12 pom bensin di Surabaya.

Sumber : http://majarimagazine.com/wp-content/uploads/2009/06/biofuel-producer-indonesia.jpg/

Read More..

Senin, 18 Mei 2009

Akumulasi Minyak dan Gas Bumi

AKUMULASI MINYAK DAN GAS BUMI

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa minyak dan gas bumi berakumulasi pada suatu perangkap yang merupkan bagian tertinggi dari lapisan reservoir. Akan tetapi apakah yang menyebabkan minyak dan gas bumi berhenti disana? Ada 2 teori yang menjelaskan pertanyaan itu adalah sebagai berikut :

1.1 TEORI AKUMULASI GUSSOW

Dalam keadaan hidrostatik, akumulasi dapat diterangkan oleh teori Gussow (1951). Gumpalan atas tetes-tetes minyak dan gas akan bergerak sepanjang bagian atas lapisan penyalur keatas, terutama disebabkan pelampungan (buoyancy). Begitu sampai di sustu perangkap (dalam hal ini perangkap struktur), minyak dan gas akan menambah kolom gas dan mendesak minyak kebawah yang juga bertambah tinggi kolomnya dan gilirannya mendesak air ke bawah. Hal ini akan terus terjadi sampai batas minyak – air mencapai ‘Spill point’. Penambahan minyak – dan gas terus menerus akan menyebabkan perlimpahan (Spilling) minyak keatas ke struktur selanjutnya (fasa dua). Pada fasa berikutnya, berhubungan penambahan gas, maka seluruh minyak didesak gas kebawah sehingga melimpah sampai habis dan perangkap diisi sepenuhnya oleh gas.

Stadium 1 : Gas, minyak dan air diatas titik limpah, minyak dan gas kedua-duanya terus menerus terjebak sedangkan air disingkirkan. Stadium ini berhenti jika antara muka minyak-air mencapai titik limpah.

Stadium 2 : Stadium penyebaran selektif dan pengasiran gas. Gas terus dijebak, selagi minyak melimpah keatas kemiringan. Stadium ini berakhir jika antara muka minyak-gas mencapai titk limpah dan berhimpitan dengan antar muka minyak.

Stadium 3 : Stadium Akhir. Perangkap diisi oleh gas. Gas melimpah ketas selagi lebih banyak gas yang masuk perangkap. Minyak melewati perangkap dan meneruskan perjalannya ke atas kemiringan.

Gambar 1 : Differensiasi minyak dan gas dalam perangkap yang menyebabkan minyak melimpah. (Gussow, 1951)

Pada gambar II, terlihat bagaimana mekanisme ini menyebabkan penyebaran akumulasi minyak dan gas pada sejumlah perangkap yang berderetan dan pada ketinggian strukturil yang berbeda. Terisinya suatu perangkap oleh gas, minyak dan sebagainya tergantung dari arah migrasi, dan jumlah minyak dan gas yang bermigrasi.
Yang pertama ini dibandingkan sebagai E, D, dan C. Sedangkan untuk yang kedua diilustrasikan oleh A, B dan C.
Terlihat pada gambar bahwa tergantung dari arah batuan induk, maka yang paling dekat akan terisi oleh gas, sedangkan yang paling jauh diisi oleh air.
Perangkap I Diisi sampai titik limpah dan mempunyai tudung gas. Hanya minyak melimpah keatas ke
Perangkap II.
Perangkap III dan IV penuh dengan air asin dan mengandung minyak atau gas.

Perangkap I seluruhnya diisi dengan gas, seluruh minyaknya telah terusir masuk keperangkap II. Minyak sekarang melebihi perangkap I.
Perangkap II telah diisi minyak dan melimpahkan keatas kemiringan ke dalam perangkap III, yang masih belum mengandung tudung gas.
Perangkap III mengandung hanya sedikit miinyak, sedangkan perangkap IV masih terisi air asin.

Perangkap I tak berubah dengan gas melimpah keatas kemiringan ke dalam perangkap II, Minyak melewati perangkap I. Perangkap II sekarang mempunyai tudung gas dan melimpahkannya ke atas kemiringan ke dalam perangkap III. Perangkap III sekarang telah terisi dengan minyak tetapi masih tetap belum mempunyai tudung gas dan melimpahkan minyak kedalam perangkap III. Perangkap IV masih terisi air asin.



Migrasi sama seperti untuk C, tetapi dalam keadaan hubungan struktur yang lain. Perhatikan bahwa ketinggian kulminasi tidak mempunyai efek terhadap penjebakan selektif, ketinggian titik limpah adalah yang mengendalikan. Ketinggian kulminasi diatas titik limpah menentukan kalau minyak maximum.

Migrasi sama seperti untuk C. Disini semua kaulminasi berada pada ketinggian yang sama. Titik limpah mengendalikan penjebakan differensial.

Gambar II. Penyebaran minyak dan gas pada deretan struktur karena penjebakan pemisahan differensial (Menurut Gussow, 1951)

1..2 TEORI AKUMULASI KING HUBBERT (1953)
King Hubbert (1953) meninjau prinsip akumulasi minyak bumi dari segi kedudukan energi potensial, dan erat hubungannya dengan perangkap hidrodinamik. Dalam hal ini minyak bumi, baik dalam bentuk tetes – tetes maupun fasa yang menerus yang berada dalam lingkungan air, akan akan selalu mencari batuan reservoir yang terisolir dan secara local mempunyai potensial terendah. Medan potensial dalam suatu reservoir yang terisi air merupakan resultan dari dua gaya, yaitu (1) gaya pelampungan (buoyancy), dan (2) gaya yang disebabkan gradient hidrodinamik. Seperti gambar berikut ini.
Keterangan :
A. Penampang Geologi untuk memperlihatkan terjadinya gradien – hidrodinamik karena permukaan potensiometri.
B. Resultan gaya pelampungan dan gradient hidrodinamik serta bidang ekipotensial minyak yang miring.

Dalam pengertian ini, minyak dan gas bumi akan berakumulasi jika bidang ekipotensial yang tegak lurus terhadap garis gaya resultan gaya tadi menutup seluruhnya dari bawah suatu daerah potensial rendah lokasi yang terisolir, misalnya suatu antiklin, suatu pelengkungan ataupun struktur lainnya dimana lapisan reservoir dan lapisan penyekat diatas konkav kearah bawah.

Dengan konsepsi diatas, maka suatu akumulasi dapat terjadi serta hilang atau terusir, dengan terdapatnya suatu gradient hidrodinamik yang pada setiap saat geologi arah serta besarnya ( vektornya dapat berubah ). Dalam keadaan itu maka paling tidak posisi batas air – minyak atau air – gas itu miring. Akumulasi minyak dan gas bumi merupakan suatu keseimbangan yang dinamis.

2..2 WAKTU PENJEBAKAN
Penentuan waktu dalam sejarah geologi mengenai kapan minyak bumi dapat terjebak, bukan saja penting dari segi ilmiah akan tetapi juga dari segi ekonomi. Suatu perangkap dapat terisi atau kosong tergantung dari waktu pembentukannya ataupun kapan minyak itu terbentuk berada dalam keadaan dapat dijebak oleh perangkap. Pengertian yang baik mengenai hal ini akan sangat membantu evaluasi suatu prospek ( Landes 1959 ). Ada beberapa bukti yang menerangkan bahwa minyak bumi terjebak pada permulaan sejarah pembentukan perangkap misalkan dalam hal lensa-lensa pasir tetapi dapat pula difahami bahwa minyak bumi dapat bermigrasi ke perangkap yang terbentuk kemudian. Perangkap dapat terbentuk lama setelah minyak tidak dapat bermigrasi lagi, sehingga perangkap tersebut akan kosong. Rittenhouse ( 1967) dalam dott dan Reynolds ( 1969 ) memberikan kriteria untuk mengetahui waktu akumulasi. Berbagai metodenya memberikan informasi hal – hal sebagai berikut :
a. Waktu tercepat dimulainya akumulasi.
b. Waktu tercepat dapat terselesaikannya akumulasi.
c. Waktu paling lambat dapat terselesaikannya akumulasi.

Hal – hal tersebut dapat dipertimbangkan dari beberapa faktor sebagai berikut :
1) Waktu Pembentukan Perangkap.
Waktu pembentukan perangkap adalah waktu tercepat minyak dapat berakumulasi. Tetapi tentu minyak dapat bermigrasi setiap waktu setelah pembentukan perangkap tadi. Dalam hal kondisi patahan – tumbuh, akumulasi dapat terjadi bersamaan dengan pembentukan batuan reservoir. Juga hal yang sama berlaku untuk lensa – lensa batuan reservoir.
Cara menentukan ada tidaknya perangkap pada waktu migrasi dan pembentukan minyak bumi yaitu dengan membuat perangkap struktur yang digantungkan pada suatu lapisan sumur tersebut sebagai datum. Dengan cara yang sama suatu peta struktur berkontur dapat dibuat dan ada tidaknya tutupan pada zaman tersebut dapat ditentukan.
2) Perangkap Yang Terisi dan Kosong.
Terdapat kemungkinan perangkap yang terisi dibentuk terlebih dahulu dan perangkap yang kosong terbentuk kemudian, setelah migrasi sekunder berhenti.
3) Expansi Gas.
Hal ini dikemukakan oleh leverson (1956) yang mendasarkannya pada hokum Boyle dan Charles. Gas mengembang jika tekanan turun. Kedalaman (waktu) pada saat volum reservoir sama dengan volum minyak dan gas sekarang pada tekanan dari temperature lebih rendah, adalah kedalaman tercetak (waktu) pada saat akumulasi telah selesai.
4) Minyak dibawah Penjenuhan.
Anggapan dasar dari kriteria ini adalah bahwa minyak telah jenuh dengan gas pada waktu akumulasi telah selesai. Jika terdapat reservoir dengan minyak yang tidak jenuh minyak ( tidak ada tutup/ topi gas ) maka hal ini dapat diterangkan sebagai berikut. Pada pembebanan dan penguburan setelah akumulas, maka minyak dalam reservoir akan tidak jenuh, karena peningkatan tekanan akan melarutkan gas bebas kedalam minyak. Pada pengangkatan dan erosi lapisan yang menutupi reservoir akan terjadi ha sebaliknya dan gas akan keluar membentuk topi gas.Namun metode penentuan ini memiliki banyak kelemahan dan anggapan – anggapannya belum tentu benar.sehingga hasilnya meragukan ( hoshkin, 1960 ).
5) Topi Gas yang Berkelalaian
Hal ini diberikan oleh Levorsen ( 1950 ) untuk keadaan special. Topi gas yang tinggi dalam blok yang turun dalam perangkap patahan menunjukkan akumulasi gas sebelum pematahan.
6) Difusi Gas Dalam Reservoir Yang Sebagian Terpisah dan Tak Jenuh.
( Zafferano, Capps dan Fry, 1963 ). Difusi gas akan terjadi diantara reservoir yang demikian dari yang jenuh menuju yang kurang jenuh dan waktu yang diperlukan untuk hubungan sekarang dapat dihitung.
7) Metoda Energi (oleh para Ilmuwan Uni Soviet ).
Adalah pengukuran kehilangan nilai energi dari minyak dalam reservoir sepanjang waktu.
Mineral Diagenesa
Mineral Diagenesa akan menurunkan porositas karena sementasi dan kompaksi. Jika Minyak bumi yang terdapat menghalang – halangi proses tersebut, maka jelas akumulasi terjadi sebelum diagenesa dalam reservoir basah air yang ada didekatnya. Sering hal ini ditunjukkan oleh tekanan tinggi dalam reservoir.
9) Sementasi Organik
Yang dimaksud sementasi Organik disini terutama adalah semen aspal. Waktu akumulasi adalah sebelum pengorosian bidang ketidakselarasan.

Dari uraian tersebut diatas disimpulkan bahwa minyak bumi tidak terjadi pada waktu tertentu di dalam evolusi minyak bumi. Setalah berakumulasi di suatu perangkap, minyak bumi dapat bermigrasi lagi ke perangkap yang terbentuk kemudian. Sebagai contoh misalnya akumulasi minyak bumi di daerah cepu (Soetantri dan lain-lain, 1973 ). Di daerah ini pelipatan utama dan intensif terjadi pada akhir Pleistosen.
Akan tetapi kedalaman penguburan dari batuan induk yang meliputi struktur itu tidak memungkinkan pembentukan dan migrasi minyak bumi ke struktur muda.

Dilain Pihak suatu fasa pelipatan yang lebih tua telah terjadi pada akhir pliosen dan kemudian pada waktu transgresi pleistosen, penguburan telah cukup dalam untuk pembentukan dan migrasi minyak bumi ke dalam sejumlah perangkap kecil yang telah ada terlebih dahulu. Jadi kombinasi antara kedalaman pembebanan dan umur pelipatan dapat menentukan apakah suatu perangkap itu terisi penuh atau tidak. (Imam J.)


Sumber : www.duniamigas.wordpress.com
Read More..

Minggu, 10 Mei 2009

Macam-macam Scale

Komposisi scale pada lapangan minyak secara umum biasanya terdiri dari :

1. Calcium carbonate, CaCO3.
2. Calcium sulfate, CaSO4.

Jenis scale lainnya adalah (NaCl) atau garam, Gypsum atau (CaSO4.2H2O), dan stronsium sulfate (SrSO4, FeCO3), namun keberadaan scale jenis ini jarang di Indonesia, BaSO4 dan CaSO4 hanya mungkin terjadi kalau produksi di commingle dari dua zona atau lebih. Untuk scale CaSO4 biasanya tidak terjadi di sumur melainkan di boiler atau heater treater, sedangkan CaCO3 akan larut diasam karena scale ini cepat diendapkan dan mudah dihilangkan dengan asam. Tetapi untuk jenis scale yang lambat terjadinya biasanya padat dan sukar sekali dihilangkan dengan asam walaupun bisa larut. CaSO4 misalnya, harus diubah dengan gypsum converter menjadi CaCO3 atau Ca(OH)2 sebelum bisa dilarutkan oleh air garam atau asam. BaSO4 tidak akan larut di asam HCl karena scale ini jenis nya sangat padat dan keras.


1. Scale Kalsium Karbonat (CaCO3)

Scale kalsium karbonat dibentuk oleh kombinasi ion kalsium dengan ion-ion karbonat atau bikarbonat yang terdapat di dalam air formasi. Persamaan reaksinya dijabarkan sebagai berikut :

Ca++ + CO3= ↔ CaCO3
Ca2+ + 2(HCO3-) ↔ CaCO3 + CO2 + H2O

Ion bikarbonat terdapat dalam air sebagai akibat adanya gas CO2 yang bereaksi dengan air, reaksi tersebut adalah sebagai berikut :

CO2 + H2O ↔ H2CO3
H2CO3 ↔ H+ + 2(HCO3-)
HCO3- ↔ H+ + HCO3-



Pada mulanya, scale berupa partikel-partikel koloid, tetapi karena partikel-partikel ini mempunyai sifat absorbsi, ditambah permukaan batuan formasi dan peralatan produksi yang umumnya kasar, maka melalui proses yang panjang partikel-partikel koloid ini melekat pada batuan formasi dan permukaan peralatan produksi hingga akhirnya membentuk kerak.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan scale CaCO3, yaitu:

a. Temperatur

Makin tinggi temperatur air, kecenderungan pembentukan scale CaCO3 meningkat. Walaupun pada permukaan tidak terbentuk scale, namun dengan suhu yang tinggi pada dasar sumur, maka dapat diprediksi akan ada scale yang terbentuk. Kelarutan CaCO3 berbeda dari kebanyakan zat-zat lain, dimana kelarutannya akan menurun seiring dengan naiknya temperatur.

Perubahan temperatur menyebabkan perubahan mobilitas ion-ion dalam larutan dimana semakin tinggi temperaturnya, maka semakin tinggi pula mobilitas ion-ion tersebut, sehingga kemungkinan terjadinya interaksi antara ion Ca2+ dan HCO3- akan semakin besar pula. Hal ini berarti, semakin tinggi temperatur maka kecenderungan terbentuknya endapan CaCO3 semakin meningkat pula atau mengindikasikan semakin rendahnya harga kelarutan CaCO3.

b. Perubahan tekanan

Banyaknya CO2 yang terlarut dalam air tergantung pada tekanan parsialnya, yaitu apabila tekanan partial tinggi gas CO2 yang terlarut juga meningkat. Dengan demikian apabila jumlah CO2 meningkat persamaan reaksi akan bergeser ke kiri dan kelarutan CaCO3 akan meningkat, dengan perkataan lain jumlan scale CaCO3 berkurang. Sebaliknya apabila terjadi penurunan tekanan, seperti yang terjadi pada aliran fluida dalam tubing, CO2 akan keluar dari cairan/air formasi, dan mengakibatkan reaksi bergeser ke kanan dan scale CaCO3 akan terbentuk. Pada lapangan minyak, CaCO3 adalah yang paling umum terjadi. Hal ini adalah karena terlepasnya gas CO2 dari bicarbonate HCO3- (lingkungan asam, pH <7).
Bila CO2 terlepas dari larutan maka pH akan naik, dan kelarutan Karbonat menurun, sehingga bicarbonarte akan diubah ke calsium carbonate yang kurang terlarut, yaitu CaCO3. Sebagai contoh, kehilangan 100mg bicarbonate/liter, air bisa mengendapkan 28,6 lb calcium carbonate per 1000 bbl air.

Pengendapan scale juga tergantung dari adanya ion calcium yang biasanya dari CaCl2, selain alkalinity airnya (konsentrasi HCO3), temperatur, total konsentrasi garam, waktu kontak dan tingkat agitasi. Gambar 5 memperlihatkan efek temperatur terhadap kelarutan calcium carbonate, barium sulfat, dan stronsium sulfat.

c. Pengaruh garam terlarut

Semakin bertambahnya kadar garam di dalam air (sampai dengan 20%), maka akan menyebabkan kelarutan CaCO3 akan bertambah. Dengan demikian kemungkinan pembentukan scale CaCO3 akan berkurang dengan penambahan garam terlarut. Contoh nya kelrutan CaCO3 pada fresh water adalah 100 mg/l, namn kelarutan pada 20% NaCl adalah 250 mg/l.

2. Scale Kalsium Sulfat (CaSO4)

Umumnya scale kalsium sulfat yang ditemui di lapangan berupa gypsum (CaSO4.2H2O). Gypsum adalah senyawa yang stabil pada temperatur kurang dari 40¬oC dan tekanan atmosfer. Diatas temperatur tersebut, akan terbentuk endapan CaSO4 (Anhidrit) dan pada kondisi tertentu hemi-hydrate (CaSO4.½H2O) akan terendapkan. Scale kalsium sulfat terbentuk dari reaksi berikut :
Ca2+ + SO42- → CaSO4

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan scale CaSO4, yaitu:

a. Temperatur

Kelarutan gypsum (CaSO4.2H2O) akan meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur hingga mencapai 100oF, namun setelah melewati suhu tersebut kelarutanya akan menurun.

b. Tekanan

Kelarutan CaSO4 dalam air meningkat dengan kenaikan tekanan. Dengan demikian adanya penurunan tekanan, seperti yang terjadi di sumur produksi, merupakan penyebab utama terbentuknya scale CaSO4. Pengurangan tekanan menyebabkan kelarutan menurun dan scale terjadi, selain itu adanya comingle completion menyebabkan pencampuran air antara yang kaya akan Ca dan yang lain kaya akan SO4 menyebabkan terbentuknya scale.
Read More..

Sabtu, 09 Mei 2009

Scale

1. Scale

Air formasi mengandung bermacam-macam bahan kimia dalam bentuk ion-ion yang larut berupa anion dan kation yang bergabung satu sama lain membentuk suatu senyawa yang tidak dapat larut dalam air. Apabila jumlah senyawa organik tersebut cukup banyak hingga melampaui batas kelarutannya, maka senyawa tersebut akan mengendap dalam bentuk padatan yang disebut scale. Scale yang berupa endapan kimiawi ini dapat terbentuk di tanki, water treatment, separator, flowline, tubing, dan perforasi. Setiap sumur migas selalu terbentuk scale, sehingga akan menurunkan laju produksi akibat tubing dan flowline tersumbat atau juga pori-pori formasi tersumbat oleh pasir yang jatuh kembali selama proses produksi. Keberadaan scale ini harus dapat diminimalisir agar laju produksi tetap dapat dipertahankan.

1.1. Penyebab Terjadinya Scale

Beberapa hal yang umumnya menyebabkan terbentuknya scale, antara lain adalah penurunan tekanan, perubahan temperatur, pencampuran antara dua zat cair (air) atau kalau kelarutan suatu zat terlewati. Selain itu perubahan pH, evaporasi (merubah konsentrasi), waktu kontak juga akan sangat memepengaruhi.


Selengkapnya download di sini
Read More..

Selasa, 05 Mei 2009

Annual IPA (Indonesian Petroleum Association) Convention

Mengundang seluruh alumni Teknik Pertambangan Unsri dan yang terkait untuk dapat menyaksikan stan kami : 'PETRODRILL MANUFACTURE INDONESIA UNTUK PIONEER PRODUKSI POMPA PRODUKSI DALAM NEGERI UNTUK MIGAS DAN MINING' buah karya Alumni Teknik Pertambangan UNSRI Nasrun Jauhari dan JOHNNY HANDOYO pada Annual IPA (INdonesian Petroleum Association) Convention, JHCC pada 5-7 MEI 2009.


Read More..

Selasa, 10 Februari 2009

MUBA Menanti Bagi Hasil MIGAS

oleh : Muhamad Nasir (Desember 2006)

Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Provinsi Sumatra Selatan menyimpan kekayaan alam yang melimpah, terutama minyak dan gas, sehingga menjadi sumber pendapatan daerah yang kini terus dikembangkan.
Kekayaan yang dimiliki Muba meliputi daerah daratan maupun perairan. Bahkan kekayaan ini menyimpan potensi besar untuk dikembangkan pada masa sekarang maupun mendatang. Selain itu, Muba memiliki potensi perkebunan, perikanan, pertanian, dan sumber daya energi.
Khusus, untuk pengembangan sumber daya energi, Muba telah terdengar sejak zaman penjajahan sebagai pemasok minyak dan gas terbesar di Sumsel.
Secara geografis Muba memiliki luas wilayah 14.265,96 km2 dan terdiri dari sembilan kecamatan, sembilan kelurahan dan 196 desa dengan jumlah menduduk sekitar 444.973 jiwa. Di sebelah utara Muba bertetangga dengan Provinsi Jambi, di selatan dengan Kabupaten Muara Enim, di barat berdampingan dengan Kabupaten Musi Rawas dan di sebelah timur bertetangga dengan Kabupaten Banyuasin.

Tentu tidak berlebihan jika melihat banyaknya perusahaan migas besar yang beroperasi di Muba, a.l. Pertamina, Medco Energy, Elnusa, dan Conoco Phillips. Mereka memberikan kontribusi yang besar dalam pengembangan sumber daya energi di Muba. Minyak dan gas dari Muba yang diproduksi perusahaan-perusahaan tersebut dimanfaatkan daerah lain, bahkan negara lain, sebagai pembangkit ketenagalistrikan.
Cadangan sumber daya energi di Muba mencapai 383.733 MSTB untuk minyak bumi dan 16.341,504 BSCF untuk gas alam. Selain itu, daerah ini juga memiliki potensi sumur tua yang saat ini masih dikelola secara tradisional oleh masyarakat. Terdapat sedikitnya 392 sumur tua yang tersebar di beberapa kecamatan.
Masih besarnya cadangan yang dimiliki sumur tua, menjadikan Pemkab Muba melalui Perusahaan Daerah PT Petro Muba membangun kilang mini yang bakal mengelola hasil tambang tradisional penduduk sekitar. Pembangunan kilang mini ini, seperti kata Bupati Muba Alex Noerdin, menjadi jalan keluar untuk melegalkan penambangan penduduk serta meningkatkan nilai jual hasilnya.

Mulai disentuh

Selain itu, potensi minyak bumi dan gas, terdapat satu potensi sumber daya energi yang belum tersentuh adalah batu bara. Cadangan sebesar 3,5 miliar ton masih dalam tahap pengembangan awal. Potensi ini tersebar di lima kecamatan yaitu Bayung Lencir, Babat Toman, Sungai Lilin, Keluang dan Batang Hari Leko.
Seiring mahalnya harga bahan bakar minyak ditambah dengan kebijakan pemerintah pusat mencari sumber energi alternatif, tentunya memberikan peluang yang sangat besar untuk pengembangan batu bara Muba. Harus diakui kadar air tinggi dan kalori rendah, menjadikan batu bara Muba dulu kurang diminati. Namun kemajuan teknologi pengolahan batu bara membuat batu bara dapat diolah menjadi gas atau bahan bakar minyak. Dengan berbagai teknologi ini, batu bara Muba tetap dibutuhkan untuk industri maupun pembangkit tenaga listrik.

Berbagai investor batu bara dalam dan luar negeri telah berulang kali mengunjungi Muba untuk mencari batu bara. Hasilnya tidak tanggung-tanggung. Beberapa perusahaan telah menandatangani kesepakatan berinvestasi di Muba. Perusahaan asal Australia PT Thiess Indonesia (TI) meninjau langsung lokasi rencana pembangunan PLTU Mulut Tambang berkapasitas 2 x 100 MW di Sungai Lillin.
Untuk pembangkit PLTU Mulut Tambang di Sungai Lilin, tersedia cadangan sebesar 42 juta ton. Selain itu perusahaan JSPC Uzbekcoal, pemegang hak dan pemasaran dan pengembangan Teknologi Underground Coal Gasification (UCG) telah melakukan kesepakatan untuk mengembangkan teknologi pengolahan batu bara ramah lingkungan di Muba.
Alex Noerdin menjelaskan saat ini telah dilakukan penambangan perdana batu bara di Kecamatan Bayung Lencir setelah sebelumnya meresmikan penambangan percobaan di Kecamatan Keluang. Penambangan produksi perdana batubara dilakukan PT Agregate Mandiri Lestari (AML) yang mencakup 100 ha areal produksi. Produksi batu bara di Muba ini menjadi yang kedua di Sumsel setelah PTBA. Sementara PT Baturona Mulya diberikan lahan seluas 100 ha sebagai areal percobaan.

Pengembangan bidang sumber daya mineral dan energi ini telah menjadi tujuan Pembangunan Pemkab Muba, bukan hanya tahun ini. Demikian pula dengan pengembangan batu bara. Ketergantungan terhadap minyak dan gas tentu tidak relevan lagi di masa datang, karena itu pengembangan batu bara sebagai sumber energi alternatif perlu digalakkan.
Jika produksi batu bara di Muba ditingkatkan, diperkirakan semakin besar pula royalty yang bakal masuk ke APBD Muba. "Harapan kami, manfaat ini dapat diinvestasikan untuk membangun SDM dan infrastruktur," kata Alex Noerdin beberapa waktu lalu.
Sejak penjajahan
Muba memang terkenal dengan potensi sumber daya alamnya yang berlimpah. Sebagai daerah penghasil migas produksi bahan tambang ini sudah dikenal sejak zaman Belanda. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan sumur-sumur tua peninggalan Belanda yang penambangan minyaknya ini diusahakan oleh pihak swasta bersama pemerintah.
Presdir Petro Muba Robert Heri dalam suatu kesempatan mengatakan, bagi hasil migas bagi daerah penghasil belum transparan. Begitu pula tambang-tambang minyak dianggap belum sepenuhnya memajukan masyarakat Muba dari belenggu kemiskinan. "Seolah mereka menjadi penonton di negeri sendiri," katanya.
Robert menyambut positif UU No.22/2002 bahwa perusahaan daerah boleh mengelola Migas. Berangkat dari sini dibentuklah PT Petro Muba sebagai badan usaha milik daerah (BUMD) yang diharapkan bisa mengambil manfaat sumber daya migas di Muba agar masyarakat dapat menikmatinya.

Setelah berjalan setahun, perusahaan ini berkembang menjad holding company melalui lima anak perusahaannya meliputi minyak industri hilir dan hulu, kimia, listrik, dan properti. Robert belum bisa merinci nilai proyek yang digarap seiring belum banyaknya tawaran kerja sama bisnis.
Diakui, penggalian potensi minyak yang menjadi salah satu unggulan Muba tidaklah mudah sehingga Petro Muba melalui anak perusahaan PT Muba Oil, menggaet investor minyak China.
Shengli Oilfield Of Sinopec yang berkantor di Propinsi Shandong, China telah menandatangani MOU dengan Pemkab Muba. PT Kilang Muba yang 51% sahamnya dimiliki Petro Muba dan selebihnya ITB, telah membangun kilang di Kecamatan Babattoman sekitar dua jam dari Sekayu dengan nilai Rp10 miliar.
Sedangkan PT Dewi Tunggal Brata, salah satu grup Texmaco, akan membangun kilang methanol terbesar di Asia Tenggara berlokasi di Desa Gresik, Kecamatan Sungaililin, Muba. Modal yang ditanamkan mencapai US$500 juta. Pembagian sahamnya 60% PT Petro Muba dan selebihnya dikuasai Grup Texmaco.

Bagi hasil

Bagi hasil yang diperoleh Muba dari migas tidak kecil. Ini tentunya sesuai dengan hasil migas yang disumbangkan daerah ini untuk negara. Pada 2003, misalnya, hasil migas kota ini mencapai Rp3,04 triliun, meningkat menjadi Rp4,1 triliun 2004, dan meningkat cukup tajam mencapai Rp12,8 triliun tahun berikut. Sementara bagi hasil yang diterima pada 2003 mencapai Rp212 miliar dan Rp289 miliar 2004.
Sayangnya, penerimaan bagi hasil yang diterima biasanya tertunda hingga triwulan berikutnya. Seperti 2006, pada triwulan pertama dana bagi hasil yang diterima sebesar Rp250 miliar harus diterima pada triwulan berikutnya.
"Akibatnya banyak kegiatan dan pendanaan yang tertunda dan menimbulkan gejolak kalau tidak bisa diantisipasi," ujar Alex Noerdin yang juga Ketua Umum Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM).

Alex yakin dengan dukungan semua pihak, dana bagi hasil yang diterima daerah bisa lebih berdaya guna dan optimal kalau dilakukan transparan dan tidak tertunda. Paling tidak bisa membangkitkan motivasi bagi daerah untuk lebih bergiat.
Read More..

Jumat, 06 Februari 2009

Sarjana Indonesia, Pecundang di Rumah Sendiri

Program pendidikan S1 (Strata 1) itu hanya ada di Indonesia. Kurikulum program ini memiliki beban minimal 140SKS (satuan kredit semester). Kurikulum Nasional Perguruan Tinggi, 1994 yang pada umumnya terbagi dalam 8 semester dengan waktu studi 4 tahun. Namun pada kenyataannya banyak mahasiswa S1 tidak dapat menyelesaikan studi dalam 4 tahun. terutama bagi mahasiswa jurusan teknik. Molornya waktu studi ini biasanya terjadi di tahun-tahun terakhir ketika mahasiswa harus menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi, terutama yang berbasis penelitian lapangan atau penelitian laboratorium. Waktu studi total bagi mahasiswa jurusan teknik umumnya menjadi 4 1/2 sampai 5 tahun.

Program pendidikan S1 tidak dikenal di negara lain. Di Malaysia, Singapura, Filiphine, Thailand, India, Australia, bahkan Amerika Serikat dan Inggris. Program pendidikan tinggi terbagi menjadi dua, yaitu program undergraduate (bachelor degree) dan program graduate (master degree). Undergraduate program umumnya memiliki beban studi 120 SKS, sedangkan master program 150 SKS. Untuk menyelesaikan undergraduate program biasanya diperlukan waktu studi sekitar 3 tahun, dan jika diteruskan ke tingkat master, diperlukan waktu studi 2 tahun lagi, sehingga untuk meraih master degree diperlukan waktu studi sekitar 5 tahun. Jika program S1 kita bandingkan dengan kedua program di atas, tampak bahwa program S1 itu banci dan tanggung. Ia mempunyai beban lebih besar dari program undergraduate tetapi lebih kecil dari program graduate (master).

“Kebancian” program S1 kita ini pada kehidupan keseharian ternyata lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Kerugian lebih dirasakan terutama oleh sarjana S1 yang bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional, baik yang berdomisili di dalam negeri maupun di luar negeri. Perusahaan-perusahaan semacam ini menerapkan standar atau kualifikasi internasional dalam merekrut karyawannya. Dan jika itu menyangkut tenaga kerja berkualifikasi lulusan perguruan tinggi, mereka hanya mengenal kualifikasi undergraduate (bachelor) degree dan graduate (master) degree. Mereka tidak mengenal S1 degree. Jika pun terpaksa harus menerima mereka yang berkualifikasi S1, perusahaan internasional ini akan menyamakan kualifikasi S1 bukannya setara dengan master degree melainkan dengan undergraduate (bachelor) degree (menyedihkan sekali). Ini berarti kelebihan beban studi sekitar 20 SKS, atau dari segi waktu studi sekitar 1 sampai 2 tahun, tidak mendapatkan penghargaan/kompensasi sebagaimana mestinya.

Gaji, pendapatan atau peringkat lulusan S1 yang bermasa studi 4 sampai 5 tahun di perusahaan semacam ini disamakan dengan lulusan undergraduate yang bermasa studi 3 tahun. Berarti lulusan S1 kita rugi dari segi waktu, biaya dan tenaga. Kerugian jenis lainnya juga dialami oleh para lulusan S1 yang memiliki kesempatan untuk meneruskan studi ke program master di luar negeri. Perguruan tinggi negara tujuan biasanya mengharuskan lulusan S1 Indonesia untuk tetap mengambil beban studi sebanyak 30 sks seperti halnya lulusan undergraduate setempat. Jika program S1 kita diakui oleh mereka, maka seharusnya kita tinggal menempuh 20 sks saja untuk menyelesaikan program graduate (master). Untuk menyelesaikan masternya, lulusan S1 kita pada akhirnya harus menanggung beban studi sekitar 170 SKS (140 SKS beban S1 + 30 SKS beban program graduate (master).

Oleh karenanya tidak mengherankan jika mahasiswa-mahasiswa program master dari Indonesia umumnya lebih tua dari mahasiswa setempat. Dari sudut pengembangan prestasi dan karier jelas yang lebih muda lebih banyak memiliki peluang daripada yang lebih tua. Ini berarti tenaga-tenaga berkualifikasi master degree Indonesia kurang kompetitif dari segi umur dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang sama-sama berkualifikasi master dari negara-negara lain.

Kerugian lulusan S1 tidak hanya terjadi di luar negeri saja, melainkan juga di dalam negeri. Kadang kala kita masih dapat menerima jika perguruan tinggi di luar negeri tidak mengakui kualifikasi lulusan S1 yang berbeban studi 140 SKS karena berkaitan dengan faktor “pride” atau prestise perguruan tinggi atau negara bersangkutan. Namun bagaimana jika perguruan tinggi dalam negeri yang meluluskan S1-nya sendiri ternyata juga tetap mengharuskan tambahan beban studi sebanyak 30 sampai 36 SKS untuk meraih gelar magister atau S2? Bukankah ini ironis? Bukankah seharusnya, apabila mengacu ke program magister internasional yang berbeban studi sekitar 150-an SKS, lulusan S1 kita tinggal menempuh 10-15 SKS lagi untuk menyelesaikan program S2 dalam negeri?

Sampai saat ini rasanya belum terlihat adanya usaha dari pihak-pihak yang berkompeten untuk mencermati masalah kerugian yang diakibatkan oleh “kebancian” program S1 kita. Kerugian waktu yang dialami oleh para mahasiswa dan lulusan S1 kita itu jelas memiliki korelasi dengan besarnya biaya, tenaga, dan energi yang dikeluarkan. Ternyata juga jika dihitung secara sepintas, memunculkan jumlah biaya yang tidak sedikit. Jika perkiraan total biaya kuliah per-mahasiswa per-tahun adalah Rp. 10 juta (angka ini berasal dari perkiraan jumlah biaya SPP per tahun sekitar Rp. 4 juta beserta biaya hidup setahun sekitar Rp 6 juta) maka kerugian waktu 2 tahun per-mahasiswa adalah sekitar Rp. 20 juta. Dan jika angka ini dikalikan dengan puluhan juta mahasiswa S1 di seluruh Indonesia, maka angka biaya (kerugian) yang muncul akan sangat mencengangkan, besarnya bisa sampai puluhan triliun rupiah.

Selain aspek kerugian biaya di atas, aspek kerugian waktu sekitar 1 sampai 2 tahun bagi mahasiswa S1 di era informasi terasa semakin signifikan, karena hal yang bisa dilakukan dan dicapai dalam waktu 2 tahun menjadi lebih mudah dibandingkan di era-era sebelumnya. Jarak dan ruang semakin dekat berkat kemajuan teknologi informasi seperti internet, email, dan telepon seluler. Jika program S1 kita berwaktu studi 3 tahun, maka lulusan S1 kita dapat menyingkat waktu 1 sampai 2 tahun. Selama waktu 1 sampai 2 tahun itu, banyak hal dapat dilakukan oleh para lulusan S1.

Dengan menggunakan kemajuan teknologi informasi yang efisien, mereka dapat dengan cepat mengakses berbagai informasi yang berkaitan dengan pengembangan studi dan karier. Lulusan S1 akan berumur sekitar 22 tahun, masih muda, masih cukup banyak waktu untuk melakukan adjustment (penyesuaian) dalam mencari lapangan pekerjaan ataupun beralih profesi sesuai dengan tuntutan jaman. Jika program S1 tetap bertahan dengan masa studi 4 sampai 5 tahun, maka waktu penyesuaian itu menjadi sempit, sehingga dimungkinkan akan lebih banyak lulusan S1 menganggur. Dipertahankannya program S1 hingga saat ini menunjukkan bahwa kita irrasional, di satu sisi menyadari akan adanya era informasi, di sisi lain seolah-olah tidak peduli dengan aspek pentingnya efisiensi. Tahun 2010, tahun pasar bebas global, sudah tinggal setahun lagi. Satu-satunya cara untuk dapat survive di era tersebut, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, adalah dengan memiliki daya saing yang tinggi.


Program Undergraduate dan keuntungannya

Diterapkannya undergraduate program dan graduate (master) program di manca negara menunjukkan, bahwa program studi ini lebih mantap dan lebih “internationally-accepted”. Jika program studi S1 dan S2 menjadi program studi yang setara dengan undergraduate program dan graduate (master) program di manca negara, rasanya banyak keuntungan yang akan diperoleh, antara lain:
Lulusan S1 kita akan memiliki daya-saing yang lebih berimbang terutama dari segi umur karena beban dan waktu studinya sama dengan lulusan undergraduate dari manca negara.
Tidak ada kerugian waktu bagi lulusan S1 yang ingin meneruskan studinya ke jenjang graduate (master) program, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri
Program S2 dalam negeri menjadi lebih menarik bagi lulusan S1 (undergraduate) yang ingin meneruskan studinya karena dia masih cukup muda untuk meneruskan studinya ke S2 yang berwaktu studi 2 tahun. Yang terjadi saat ini adalah banyak program magister, (kecuali program magister manajemen), di dalam negeri yang tidak laku karena kekurangan peminat. Hal ini antara lain disebabkan lulusan S1 sudah merasa "jenuh” belajar. Jika ingin meneruskan ke S2, mereka kuatir umurnya sudah tidak kompetitif lagi (sekitar 27-28 tahun). Padahal banyak perusahaan dan instansi yang mempersyaratkan batas umur penerimaan.
Lulusan program magister akan jauh lebih banyak karena waktu studi lebih singkat, sehingga biayanya lebih murah. Jika lulusan magister semakin banyak maka benchmark kualitas SDM kita semakin meningkat, tidak lagi level S1 melainkan level S2 atau level magister, mendekati kualitas SDM di negara-negara yang lebih maju.
Sedangkan kendala yang akan muncul jika kita mengubah program S1 menjadi program seperti undergraduate program dan graduate (master) program, antara lain:
Perlu diadakan peraturan penyesuaian tentang hubungan antara lulusan perguruan tinggi yang tidak lagi mengacu pada kriteria lulusan S1 lama (140 SKS) melainkan dengan lulusan S1 baru yang setara dengan undergraduate (bachelor) degree.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan pasar bebas di tahun 2010, kita dituntut mampu berkompetisi dengan SDM dari negara mana pun. Jika program S1 kita ini tetap kita pertahankan, maka pada saat implementasi AFTA tiba, kita dapat mengharapkan munculnya suatu gambaran menyedihkan seperti berikut ini:

Ketika lulusan undergraduate manca negara “menyerbu” masuk ke Indonesia dan diterima di perusahaan-perusahaan multinasional yang kemungkinan semakin banyak jumlahnya, teman-teman sebayanya di Indonesia yang kuliah S1 pada saat yang sama masih nongkrong di kampus menyelesaikan studinya 1 hingga 2 tahun lagi. Ketika para S1-wan selesai kuliah, teman-teman asing yang hanya berbekal undergraduate degree itu telah memiliki pengalaman kerja 1 sampai 2 tahun. Gaji dan pangkatnya tentu lebih tinggi dibandingkan debutan S1 Indonesia yang baru saja diterima bekerja. Titik awal pekerjaan antara lulusan S1 Indonesia dan undergraduate manca negara sama, karena perusahaan multinasional itu tidak mengakui kualifikasi S1. Lulusan S1 kita kalah bersaing, dan menjadi pecundang di “rumahnya” sendiri.

Akankah kita menutup mata terhadap terjadinya bencana inefisiensi sistem pendidikan tinggi kita ini?(*)
Read More..

Sabtu, 10 Januari 2009

Jawaban TTL 2008/2009

A. PERNYATAAN BENAR SALAH--------B. PILIH JAWABAN YANG PALING BENAR
NO NOMOR SOAL JAWABAN------------NO NOMOR SOAL JAWABAN SCORE
No.1 – Nsoal- 1 –Jawaban- B -------------No.1 – Nsoal- 1-Jawaban-A
No.2 – Nsoal- 2 –Jawaban- B -------------No.2 – Nsoal- 2–Jawaban-C
No.3 – Nsoal- 3 –Jawaban- B -------------No.3 – Nsoal- 3–Jawaban-A
No.4 – Nsoal- 4 –Jawaban- B -------------No.4 – Nsoal- 4–Jawaban-A
No.5 – Nsoal- 5 –Jawaban- B -------------No.5 – Nsoal- 5–Jawaban-A
No.6 – Nsoal- 6 –Jawaban- B -------------No.6 – Nsoal- 6–Jawaban-C
No.7 – Nsoal- 7 –Jawaban- B -------------No.7 – Nsoal- 7–Jawaban-D
No.8 – Nsoal- 8 –Jawaban- B ------------ No.8 – Nsoal- 8–Jawaban-D
No.9 – Nsoal- 9 –Jawaban- B ------------ No.9 – Nsoal- 9–Jawaban-D

No.10 – Nsoal- 10 –Jawaban- B -------------No.10 – Nsoal- 10–Jawaban-A
No.11 – Nsoal- 11 –Jawaban- B -------------No.11 – Nsoal- 11–Jawaban-A
No.12 – Nsoal- 12 –Jawaban- B -------------No.12 – Nsoal- 12–Jawaban-D
No.13 – Nsoal- 13 –Jawaban- B -------------No.13 – Nsoal- 13–Jawaban-A
No.14 – Nsoal- 14 –Jawaban- B -------------No.14 – Nsoal- 14–Jawaban-A
No.15 – Nsoal- 15 –Jawaban- B -------------No.15 – Nsoal- 15–Jawaban-A
No.16 – Nsoal- 16 –Jawaban- B -------------No.16 – Nsoal- 16–Jawaban-A
No.17 – Nsoal- 17 –Jawaban- B -------------No.17 – Nsoal- 17–Jawaban-A
No.18 – Nsoal- 18 –Jawaban- B -------------No.18 – Nsoal- 18–Jawaban-C
No.19 – Nsoal- 19 –Jawaban- B -------------No.19 – Nsoal- 19–Jawaban-A
No.20 – Nsoal- 20 –Jawaban- B -------------No.20 – Nsoal- 20–Jawaban-B
No.21 – Nsoal- 21 –Jawaban- B -------------No.21 – Nsoal- 21–Jawaban-B
No.22 – Nsoal- 22 –Jawaban- B -------------No.22 – Nsoal- 22 –Jawaban-D
No.23 – Nsoal- 23 –Jawaban- B -------------No.23 – Nsoal- 23 –Jawaban-A
No.24 – Nsoal- 24 –Jawaban- B -------------No.24 – Nsoal- 24 –Jawaban-A
No.25 – Nsoal- 25 –Jawaban- B -------------No.25 – Nsoal- 25 –Jawaban-D
No.26 – Nsoal- 26 –Jawaban- B -------------No.26 – Nsoal- 26 –Jawaban-A
No.27 – Nsoal- 27 –Jawaban- B -------------No.27 – Nsoal- 27 –Jawaban-A
No.28 – Nsoal- 28 –Jawaban- B -------------No.28 – Nsoal- 28 –Jawaban-A
No.29 – Nsoal- 29 –Jawaban- B -------------No.29 – Nsoal- 29 –Jawaban-A
No.30 – Nsoal- 30 –Jawaban- B -------------No.30 – Nsoal- 30 –Jawaban-A
No.31 – Nsoal- 31 –Jawaban- B -------------No.31 – Nsoal- 31 –Jawaban-D
No.32 – Nsoal- 32 –Jawaban- B -------------No.32 – Nsoal- 32 –Jawaban-A
No.33 – Nsoal- 33 –Jawaban- B -------------No.33 – Nsoal- 33 –Jawaban-A
No.34 – Nsoal- 34 –Jawaban- B -------------No.34 – Nsoal- 34 –Jawaban-B
No.35 – Nsoal- 35 –Jawaban- B -------------No.35 – Nsoal- 35 –Jawaban-B
No.36 – Nsoal- 36 –Jawaban- B -------------No.36 – Nsoal- 36 –Jawaban-B
No.37 – Nsoal- 37 –Jawaban- B -------------No.37 – Nsoal- 37 –Jawaban-B
No.38 – Nsoal- 38 –Jawaban- B -------------No.38 – Nsoal- 38 –Jawaban-B
No.39 – Nsoal- 39 –Jawaban- B -------------No.39 – Nsoal- 39 –Jawaban-A
No.40 – Nsoal- 40 – Jawaban- B -------------No.40 – Nsoal- 40 –Jawaban-D
No.41 – Nsoal- 41 –Jawaban- B -------------No.41 – Nsoal- 41 –Jawaban-D
No 42 – Nsoal- 42 –Jawaban- B -------------No.42 – Nsoal- 42 –Jawaban-C
No 43 – Nsoal- 43 –Jawaban- B -------------No.43 – Nsoal- 43 –Jawaban-A
No 44 – Nsoal- 44 –Jawaban- B -------------No.44 – Nsoal- 44 –Jawaban-A
No 45 – Nsoal- 45 –Jawaban- B -------------No.45 – Nsoal- 45 –Jawaban-A
No 46 – Nsoal- 46 –Jawaban- B -------------No.46 – Nsoal- 46 –Jawaban-D
No 47 – Nsoal- 47 –Jawaban- B -------------No.47 – Nsoal- 47 –Jawaban-A
No.48 – Nsoal- 48 –Jawaban- B ---------------No.48 – Nsoal-48 –Jawaban-C
No.49 – Nsoal- 49 –Jawaban- B ---------------No.49 – Nsoal-49 –Jawaban-D
No.50 – Nsoal- 50 –Jawaban- B ---------------No.50 – Nsoal-50 –Jawaban-B
No.51 – Nsoal- 51 –Jawaban- B ---------------No.51 – Nsoal-51 –Jawaban-A
No.52 – Nsoal- 52 –Jawaban- B ---------------No.52 – Nsoal-52 –Jawaban-C
No.53 – Nsoal- 53 –Jawaban- B ---------------No.53 – Nsoal-53 –Jawaban-B
No.54 – Nsoal- 54 –Jawaban- B ---------------No.54 – Nsoal-54 –Jawaban-C
No.55 – Nsoal- 55 –Jawaban- B ---------------No.55 – Nsoal-55 –Jawaban-B
No.56 – Nsoal- 56 –Jawaban- B ---------------No.56 – Nsoal-56 –Jawaban-A
No.57 – Nsoal- 57 –Jawaban- B ---------------No.57 – Nsoal-57 –Jawaban-C
No.58 – Nsoal- 58 –Jawaban- B ---------------No.58 – Nsoal-58 –Jawaban-D
No.59 – Nsoal- 59 –Jawaban- B ---------------No.59 – Nsoal-59 –Jawaban-A
No.60 – Nsoal- 60 –Jawaban- B ---------------No.60 – Nsoal-60 –Jawaban-B
No.61 – Nsoal- 61 –Jawaban- B ---------------No.61 – Nsoal-61 –Jawaban-C
No.62 – Nsoal- 62 –Jawaban- B ---------------No.62 – Nsoal-62 –Jawaban-A
No.63 – Nsoal- 63 –Jawaban- B ---------------No.63 – Nsoal-63 –Jawaban-A
No.64 – Nsoal- 64 –Jawaban- B ---------------No.64 – Nsoal-64 –Jawaban-A
No.65 – Nsoal- 65 –Jawaban- B ---------------No.65 – Nsoal-65 –Jawaban-B
No.66 – Nsoal- 66 –Jawaban- B ---------------No.66 – Nsoal-66 –Jawaban-A
No.67 – Nsoal- 67 –Jawaban- B ---------------No.67 – Nsoal-67 –Jawaban-B
No.68 – Nsoal- 68 –Jawaban- B ---------------No.68 – Nsoal-68 –Jawaban-A
No.69 – Nsoal- 69 –Jawaban- B ---------------No.69 – Nsoal-69 –Jawaban-A
No.70 – Nsoal- 70 –Jawaban- B ---------------No.70 – Nsoal-70 –Jawaban-A
No.71 – Nsoal- 71 –Jawaban- B ---------------No.71 – Nsoal-71 –Jawaban-A
No.72 – Nsoal- 72 –Jawaban- B ---------------No.72 – Nsoal-72 –Jawaban-C
No.73 – Nsoal- 73 –Jawaban- B ---------------No.73 – Nsoal-73 –Jawaban-B
No.74 – Nsoal- 74 –Jawaban- B ---------------No.74 – Nsoal-74 –Jawaban-A
No.75 – Nsoal- 75 –Jawaban- B ---------------No.75 – Nsoal-75 –Jawaban-A
No.76 – Nsoal- 76 –Jawaban- B ---------------No.76 – Nsoal-76 –Jawaban-A
No.77 – Nsoal- 77 –Jawaban- B ---------------No.77 – Nsoal-77 –Jawaban-A
No.78 – Nsoal- 78 –Jawaban- B ---------------No.78 – Nsoal-78 –Jawaban-A
No.79 – Nsoal- 79 –Jawaban- B ---------------No.79 – Nsoal-79 –Jawaban-B
No.80 – Nsoal- 80 –Jawaban- B ---------------No.80 – Nsoal-80 –Jawaban-B
No.81 – Nsoal- 81 –Jawaban- B ---------------No.81 – Nsoal-81 –Jawaban-D
No.82 – Nsoal- 82 –Jawaban- B ---------------No.82 – Nsoal-82 –Jawaban-B
No.83 – Nsoal- 83 –Jawaban- B ---------------No.83 – Nsoal-83 –Jawaban-D
No.84 – Nsoal- 84 –Jawaban- B ---------------No.84 – Nsoal-84 –Jawaban-D
No.85 – Nsoal- 85 –Jawaban- B ---------------No.85 – Nsoal-85 –Jawaban-C
No.86 – Nsoal- 86 –Jawaban- B ---------------No.86 – Nsoal-86 –Jawaban- B
No.87 – Nsoal- 87 –Jawaban- B ---------------No.87 – Nsoal-87 –Jawaban- D
No.88 – Nsoal- 88 –Jawaban- B
No.89 – Nsoal- 89 –Jawaban- B
No.90 – Nsoal- 90 –Jawaban- B
No.91 – Nsoal- 91 –Jawaban- B
No.92 – Nsoal- 92 –Jawaban- B
No.93 – Nsoal- 93 –Jawaban- B
No.94 – Nsoal- 94 –Jawaban- B
No.95 – Nsoal- 95 –Jawaban- B
No.96 – Nsoal- 96 –Jawaban- B
No.97 – Nsoal- 97 –Jawaban- B
No.98 – Nsoal- 98 –Jawaban- B
No.99 – Nsoal- 99 –Jawaban- B
No.100 – Nsoal- 100 –Jawaban- B
No.101 – Nsoal- 101 –Jawaban- B
No.102 – Nsoal- 102 –Jawaban- B
No.103 – Nsoal- 103 –Jawaban- B
No.104 – Nsoal- 104 –Jawaban- B
No.105 – Nsoal- 105 –Jawaban- B
No.106 – Nsoal- 106 –Jawaban- B
No.107 – Nsoal- 107 –Jawaban- B
No.108 – Nsoal- 108 –Jawaban- B
No.109 – Nsoal- 109 –Jawaban- B
No.110 – Nsoal- 110 –Jawaban- B
No.111 – Nsoal- 111 –Jawaban- B
No.112 – Nsoal- 112 –Jawaban- B
No.113 – Nsoal- 113 –Jawaban- B
No.114 – Nsoal- 114 –Jawaban- B
No.115 – Nsoal- 115 –Jawaban- B
No.116 – Nsoal- 116 –Jawaban- B
No.117 – Nsoal- 117 –Jawaban- B
No.118 – Nsoal- 118 –Jawaban- B
No.119 – Nsoal- 119 –Jawaban- B
No.120 – Nsoal- 120 –Jawaban- B
No.121 – Nsoal- 121 –Jawaban- B
No.122 – Nsoal- 122 –Jawaban- B
No.123 – Nsoal- 123 –Jawaban- B
No.124 – Nsoal- 124 –Jawaban- B
No.125 – Nsoal- 125 –Jawaban- B
No.126 – Nsoal- 126 –Jawaban- B
No.127 – Nsoal- 127 –Jawaban- B
No.128 – Nsoal- 128 –Jawaban- B
No.129 – Nsoal- 129 –Jawaban- B
No.130 – Nsoal- 130 –Jawaban- B
No.131 – Nsoal- 131 –Jawaban- B
No.132 – Nsoal- 132–Jawaban- B
No.133 – Nsoal- 133 –Jawaban- B
No.134 – Nsoal- 134 –Jawaban- B
No.135 – Nsoal- 135 –Jawaban- B
No.136 – Nsoal- 136 –Jawaban- B
No.137 – Nsoal- 137 –Jawaban- B
No.138 – Nsoal- 138 –Jawaban- B
No.139 – Nsoal- 139 –Jawaban- B
No.140 – Nsoal- 140 –Jawaban- B
No.141– Nsoal- 141 –Jawaban- B
No.142 – Nsoal- 142 –Jawaban- B
No.143 – Nsoal- 143 –Jawaban- B
No.144 – Nsoal- 144 –Jawaban- B
No.145– Nsoal- 145 –Jawaban- B
No.146– Nsoal- 146 –Jawaban- B
No.147 – Nsoal- 147 –Jawaban- B
No.148 – Nsoal- 148 –Jawaban- B
No.149– Nsoal- 149 –Jawaban- B
No.150 – Nsoal- 150 –Jawaban- B
No.151 – Nsoal- 151 –Jawaban- B

Read More..